"Loli, maafkan aku."
"Tak apa, biar aku yang ganti gelasnya."
"Maksudku maafkan aku yang telah mengacaukan persahabatan kita dengan obsesi butaku."
Lolita terdiam.
"Lol, kamu tak pernah memberiku kesempatan untuk minta maaf. Kamu selalu menghindariku."
"Seingatku aku tak pernah menghindarimu. Kenyataannya teman-temanmu sudah menyita waktumu. Kamu tidak cukup berusaha untuk minta maaf padahal kamu tahu di mana rumahku."
"Please, Lol, jangan sinis."
"Aku tidak sinis, aku cuma marah. Bayangkan, Dit, dua semester! Hampir setahun aku harus melihatmu menjadi orang asing, sekadar boneka, tanpa kehendak dan buta. Sekarang kamu baru menyadarinya, itu pun karena kamu putus dengan Alex dan otomatis kamu telah terlepas dari mereka. Kamu baru mengingatku saat kamu sendiri. Kamu anggap aku ini apa? Rongsokan yang kamu pungut kembali?"
"Ya ampun, Lol. Sebegitu parahkah aku menyakitimu?"
"Sudahlah. Kita lupakan semua ini." Lolita hendak beranjak namun Endita mencegahnya.
"Lol aku hanya ingin kamu tahu kalau aku datang padamu bukan karena aku putus dengan Alex. Sudah lama aku ingin bebas. Apa yang aku bayangkan dulu semua salah. Kupikir aku bisa mendapat pengakuan diri jika bergabung dengan mereka, tapi kenyataannya aku malah kehilangan diri. Popularitas itu hanyalah ilusi. Mereka bahkan tidak jujur dengan diri mereka sendiri. Aku iri padamu karena kamu tetap memilih untuk menjadi dirimu sendiri. Aku ingin kembali seperti dulu. Dan yang terpenting kamu bukan rongsokan. Jangan pernah bilang seperti itu. Maafkan aku, Lol. Sungguh."
Lolita menghela napas panjang. Dia menatap mata Endita yang bersinar tulus. Mungkin Endita memang telah menyakitinya tapi dia sudah minta maaf dan itu butuh nyali yang besar.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR