SAHABAT

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 April 2013 | 16:00 WIB
SAHABAT (Astri Soeparyono)

Ombak di depan masih menghantam. Seolah sedang berlomba, tak henti mereka menerjang karang. Seorang gadis duduk termenung. Tak urung percikan air yang ditimbulkan membasahi kaki si gadis juga sebagian celana panjangnya. Gadis itu bergeming. Pandangannya masih lurus ke depan. Pagi tadi gadis itu sudah bangun, meninggalkan teman-temannya yang masih dibuai mimpi. Dia tak ingin melewatkan matahari terbit. Sayang yang ditunggu ternyata tak tampak. Mendung menghalangi pandangannya.

            Sheera, nama gadis itu. Usianya masih belia, terlihat dari bola matanya yang bening, polos. Gadis yang baru menyelesaikan Ujian Nasional itu sedang berlibur bersama teman-temannya. Dua hari yang lalu dia berangkat bersama ketiga temannya menuju Jogjakarta. Rencananya mereka akan melepaskan ketegangan sesudah ujian di kota ini selama empat hari. Kemarin sore mereka meninggalkan penginapan untuk menikmati matahari terbenam di salah satu pantai yang ada di Gunung Kidul.

            "Sheera! Ngapain kamu di situ?"

            Sebuah teriakan mengalihkan pandangan Sheera. Seorang gadis sebaya dengannya tampak berjalan di pinggir pantai. Sheera tersenyum, mungkin tak terlihat oleh temannya karena jarak yang lumayan jauh.

            "Bahaya, tau! Ayo, turun!"

            Si teman kembali berteriak sambil terus melangkah mendekatinya. Sheera berdiri. Bukannya segera turun, Sheera justru merentangkan kedua tangannya. Bergaya seolah sedang dalam salah satu adegan di sebuah film terkenal, Sheera meluruskan pandangannya kembali ke depan. Dagunya diangkat tinggi. Hembusan angin menerpa wajahnya. Percikan air laut membuat kaki dan celana panjangnya semakin basah.

            "Turun! Kamu sudah gila, ya?"

            Sheera bergeming. Kedua matanya kemudian dipejamkan. Ada beban yang ingin dibebaskannya. Ada yang sejak beberapa minggu terakhir ingin mengusik hatinya, membuatnya sulit memejamkan mata dan ingin dilepaskannya saat ini, di atas karang itu.

            "Kenapa sih teriak-teriak? Masih pagi juga."

             Seorang gadis berambut panjang keluar dari tenda dan langsung menggerutu, disusul seorang cewek lagi, dengan tubuh lumayan gendut, yang tampak masih ngantuk.

            "Ada apa sih?" tanya si gendut sambil menguap.

            "Itu tuh, Fina, dari tadi teriak-teriak. Enggak tahu orang masih ngantuk," jawab si gadis berambut panjang.

            "Eh, Win, ngapain itu Sheera di atas? Enggak takut jatuh apa?" tanya si gendut sambil menunjuk ke Sheera.

            Gadis berambut panjang yang dipanggil Win langsung mengikuti arah yang ditunjukkan temannya. Bibirnya yang tadi manyun karena kesal berubah. Matanya terbelalak.

            "Sheera ngapain, sih, main-main kayak gitu. Ayo Ndah, kita susul Fina. Kalo ada apa-apa sama Sheera bisa bahaya kita," kata gadis berambut panjang yang bernama Windy itu.

            "Sheera turun!" teriak Indah dan Windy berbarengan.

            Fina yang sudah duluan menyusul Sheera semakin mempercepat langkahnya. Kakinya yang telanjang berlarian di antara pasir putih pantai. Windy yang berbadan kecil berlari gesit sedang Indah beberapa kali terperosok dan jatuh.

            "Windy, tungguin dong," pintanya pada Windy yang semakin jauh.

            Windy menoleh sebentar tapi bukannya menolong Indah dia malah menertawakan temannya itu dan kembali berlari menyusul Fina.

            "Malah diketawain, huh, bukannya nolong," gerutu Indah.

            Indah mencoba berdiri sambil mengibaskan celana kaosnya yang kotor oleh pasir. Wajahnya yang chubby terlihat semakin bundar karena manyun, kesal. Fina sudah naik ke atas karang di mana Sheera sedang berdiri. Sedang Windy terlihat masih berlarian. Mendengar teman-temannya heboh, Sheera membuka matanya.

            "Sheera, bahaya kayak gitu. Kita kan cuma berempat, cewek semua lagi, kalo kamu sampai jatuh gimana?" kata Fina sambil mendekati Sheera.

            Sheera tersenyum. Perlahan kedua tangannya diturunkan. Karang yang dipijaknya tampak berlumut dan licin.

            "Malah senyum-senyum, ayo buruan sini," kata Fina yang tidak mau terlalu dekat dengan ujung karang.

            "Asyik lagi, coba aja," kata Sheera.

            "Ogah. Ombak di sini besar, tahu! Kemarin kan kita sudah janji enggak boleh jalan sendirian. Kalo pergi harus ngasih tahu, ingat?"

            Sheera terkekeh.

            "Heh bantuin dong, enggak bisa naik, nih," suara Windy minta pertolongan.

            Sheera mundur perlahan. Dibanding tadi ketika mendekati pinggiran karang, kali ini dia justru sedikit takut. Kakinya yang tanpa alas harus berhati-hati menapak batu karang yang bukan hanya licin karena sering terkena air laut tapi juga tajam. Fina sudah mundur lebih dahulu untuk menolong Windy.

            "Ngapain, sih, pake naik-naik ke sini segala? Lupa ya janji kemarin..." omel Windy yang langsung dibalas oleh Sheera.

            "Iya, Bu, inget. Ngomel mulu nanti cepet tua, lho."

            "Ih, malah ngatain. Lihat, tuh, Indah, sampe jatuh bangun kayak gitu," lanjut Windy masih belum terima.

            "Tahu gitu kok malah ditinggal, enggak ditolongin dulu?" kali ini Fina yang membalas.

            Windy manyun. Fina dan Sheera tersenyum melihat temannya yang memang terkenal cerewet itu. Di antara mereka berempat Windylah yang menjadi idola. Wajahnya yang cantik dengan tubuh tinggi langsing juga rambut hitam panjangnya membuat gadis itu sering membuat teman-temannya iri.

            "Ya aku kan..." Windy tak melanjutkan kata-katanya.

            Lagi-lagi Fina dan Sheera menahan senyum. Saat ini mereka bertiga sudah berada di atas karang. Angin yang berhembus cukup kuat membuat mereka bertiga bergidik, dingin.

            "Bagus juga ya pemandangan dari sini," kata Windy.

            Ketiga gadis itu berdiri sambil memandangi bentangan laut di hadapan mereka. Matahari yang tadi tak tampak perlahan mulai muncul.

            "Hoi, tolongin dong!"

            Indah yang sedari tadi jatuh bangun akhirnya sampai juga. Gadis yang terkenal doyan makan itu tampak memegangi kedua lututnya. Nafasnya tersengal, capek.

            "Tiap hari kayak gini bisa kurus aku," katanya lagi.

            Mendengar kata-kata temannya, Sheera, Fina dan Windy langsung tertawa.

            "Kalo gitu naik sendiri ke sini, biar cepet kurusnya," kata Fina.

            "Iya, daripada kamu diet belum tentu tahan. Mending kayak gini, deh, dijamin langsung langsing," tambah Windy.

            "Sudah ah, kasian si Indah. Ayo ditolongin," kata Sheera.

            Bertiga mereka menolong Indah mencapai karang. Tubuh Indah yang besar membuat ketiga gadis itu harus berusaha keras.

            "Makan apa sih kamu, Ndah, berat banget," kata Windy.

            "Makan batu," jawab Indah sambil cemberut.

            Keempat gadis belasan tahun itu saat ini sudah berada di atas karang. Jika tadi melihat Sheera yang berdiri di pinggir karang mereka ketakutan, sekarang mereka merasakan sendiri rasanya. Mereka berempat kemudian duduk. Tak ada lagi kata. Saat ini mereka sibuk dengan pikiran di kepala mereka masing-masing. Sebentar lagi mereka akan meninggalkan bangku SMA dan mungkin mereka tidak akan bisa bersama lagi. Pertemanan yang terjalin sejak tiga tahun yang lalu akankah bisa terus dijaga ketika mereka akan semakin sibuk dengan kuliah masing-masing.

            "Aku harus masuk Perguruan Tinggi Negeri, harus. Papa enggak mau membiayai kuliahku kalau aku enggak bisa masuk PTN," kata Indah tiba-tiba.

            "Kenapa emangnya? Kuliah di mana saja kan sama, asal kamunya rajin belajar," tanya Windy.

            "Mahal. Bisnis Papa lagi enggak bagus," jawab Indah.

            "Bukannya sekarang sama saja. PTN sekarang juga mahal, lho, kecuali kamu lewat jalur tertentu itu, dapet beasiswa," kata Fina berpendapat.

            "Bener. Banyak kok perguruan swasta yang murah juga, lebih murah. Kemarin di rumah aku dapat kiriman kayak brosur-brosur gitu dari universitas-universitas swasta dan kulihat lumayan juga biayanya," kata Windy.

            Indah menghela nafas. Papanya memang keras. Kemarin saja ketika minta ijin untuk ikut berlibur bersama ketiga temannya itu hampir saja dia tak diijinkan. Kalau bukan karena bantuan dari sang Mama pasti saat ini dia sedang di meja belajaarnya bersama tumpukan buku yang harus dibaca.

            "Aku enggak tahu apa masih bisa ketemu kalian lagi atau enggak. Tahun ini Papaku dipindah ke luar Jawa dan Mama mau kita semua ikut. Jadi nanti pas tes aku diminta memilih perguruan tinggi di tempat papa kerja."

            Mendengar kata-kata Fina, ketiga temannya langsung terperanjat. Fina tidak menceritakan masalah itu sebelumnya.

            "Kalo bukan karena mau pindah, aku enggak mungkin diijinkan liburan sama kalian ke sini," lanjut Fina.

            "Fina, kok enggak cerita-cerita, sih?" tanya Indah sendu.

            "Aku juga baru tahu. Papa dan Mama sengaja menyembunyikannya agar aku konsen ujian. Jadi pas kemarin ujian selesai Papa ngasih tau aku."

            "Tapi kan kamu bentar lagi kuliah, kita sudah bukan anak SMA. Kamu enggak harus ikut mereka, kan? Kamu sudah dewasa. Itung-itung belajar mandiri. Iya, enggak?"

            Indah mengangguk tapi tidak Sheera. Gadis itu terlihat diam. Sedari tadi dia hanya mendengarkan teman-temannya.

            "Iya tapi aku ini, kan, anak cewek satu-satunya. Mama enggak mau aku jauh. Kalo Abangku karena sudah masuk kuliah, ya bakal lanjut."

            "Nah itu ada Abangmu. Jadi kamu, kan, enggak sendiri, ada Abang kamu," kata Windy menggebu.

            "Yee...sudah dibilang karena aku anak cewek sendiri. Mama enggak mau ninggalin aku sama Abangku. Kalian tahu Abangku kayak apa."

            Indah murung. Rupanya bukan dia saja yang sedang punya masalah. Meski sulit mengikuti keinginan Papanya tapi setidaknya dia masih punya teman-temannya yang terus mendukung.

            "Kalau aku, sih, enggak bakal pergi-pergi. Aku enggak mau ninggalin kalian. Selama ini cuma kalian temanku, kalian yang tahan dengan tingkahku yang nyebelin. Kalian the best pokoknya," kata Windy hampir menangis.

            "Ih, kok ngomongnya gitu. Kamu enggak nyebelin, kok, cuma sering bikin gemes aja. Ya, enggak Fin, Sheer?" tanya Indah.

            Windy menahan tangisnya. Sebagai anak satu-satunya, dia terlalu dimanja. Itu yang membuat tingkahnya sering menyebalkan. Itu juga yang membuat banyak temannya pergi meninggalkannya. Mereka enggak tahan dengan kelakuan Windy yang suka semaunya sendiri. Fina merangkul Windy yang duduk tepat di sampingnya.

            "Sheer, kok kamu diem aja sih dari tadi?" tanya Windy.

            Sheera yang sedari tadi ternyata sedang melamun hampir terlonjak. Ketiga temannya memandang ke arahnya. Bibirnya bergetar. Berteman dengan Fina, Windy dan Indah adalah hal terindah dalam hidupnya. Mereka bukan hanya teman, mereka adalah sahabat. Selama ini di antara mereka berempat Sheera memang terkenal paling pendiam. Karena mereka bertiga juga Sheera bisa ikut liburan ini. Tadinya Sheera menolak tapi ketiga sahabatnya itu memaksa.

            "Iya, nih, Sheera, dari tadi kok diem aja? Jangan-jangan kamu kerasukan roh laut, soalnya tadi melamun di pinggir karang?" tanya Indah serius.

            "Ih, apaan sih Indah, hati-hati kalo ngomong," protes Windy.

            Sheera memandangi sahabatnya satu persatu. Liburan yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari ini hampir saja batal karena uang yang ditabungnya terpaksa diambil untuk keperluan adiknya. Adiknya harus melunasi uang sekolah agar bisa ikut ujian.

            "Aku..."

            "Kamu sakit? Jangan-jangan kamu masuk angin?" tanya Fina.

            "Iya, tadi malem, kan, anginnya lumayan kenceng, dingin. Trus Sheera pagi-pagi sudah bangun, mangap-mangap di atas karang," lanjut Indah.

            Windy mencubit lengan Indah, membuat gadis itu meringis kesakitan. Sheera tersenyum melihat polah sahabat-sahabatnya itu. Dia masih muda, masa depan masih panjang meski dia sendiri tidak yakin dengan hidupnya di masa mendatang. Dia tak mau berangan.

            "Aku enggak melanjutkan kuliah," katanya pelan.

            Ombak kembali menerjang karang, lebih keras. Matahari yang semakin tinggi membiaskan warna pada lautan. Keempat sahabat berangkulan erat di atas karang. Tak tahu apa yang ada di depan, tak ingin menjanjikan sebuah kenangan yang indah juga persahabatan mereka berpelukan erat. 

            I will not promise you an everlasting friendship but I'm here today so let's just see where it leads.

 

            Kalimat yang saat ini memenuhi kepala keempat gadis itu tanpa sedikit pun terucap.

***

(oleh: rina tri lestari, foto: imgfave.com)