Aku Tahu Bajak Laut Itu Tertawa

By Astri Soeparyono, Sabtu, 2 Maret 2013 | 16:00 WIB
Aku Tahu Bajak Laut Itu Tertawa (Astri Soeparyono)

Pukul 19.00 Waktu Indonesia Barat. Aku semula tak menyangka akan jadi begini. Puluhan menit yang lalu, aku telah mewanti-wanti Ayah dan Bunda. Dengan muka keras, aku menyampaikan pada masing-masing pihak, "Nanti jangan main Blackberry atau handphone atau gadget apa pun, yah, di restoran." Dan sampai kedua kaki menginjak keramik krem hitam itu, aku masih merasakan kemenangan yang kan kugenggam. Namun ternyata, nasib menyuguhkanku hal lain.

            Ini merupakan restoran favoritku sewaktu kecil. Dari luar lampu neon berwarna merah yang mengukir nama restoran tersebut telah menarik atensi dari mata ini. Begitu pula dengan interior dalamnya. Kursi-kursi ditata di sekitar meja cokelat tua yang entah terbuat dari kayu apa.  Akuarium-akuarium kecil tempat ikan hias melenggak lenggok, berdiri dengan gagah di sudut-sudut ruangan.

            Makanan yang disuguhkan sederhana. Chinese food. Ada bebek peking dan aneka dimsum. Lengkap dengan bubur ayam favoritku yang ditaburi pangsit. Mungkin kau akan berpikir itu perpaduan yang aneh. Tapi itu enak. Enak sekali, sampai hari ini tiba.

***

            "Dek, makan dulu, Dek." Sembari menunggu pesanan, aku memperhatikan meja yang hanya terpisah satu langkah dari mejaku. Sebelah kiri, seorang ibu-ibu muda bersama perempuan yang juga sebaya, yang aku rasa adalah adiknya, duduk dengan seluruh bola mata terfokus pada Blackberry. Anaknya yang kira-kira masih berusia lima tahun juga duduk di satu meja. Semua terlihat serasi. Karena apa yang dilakukan anak tersebut juga sama seperti mereka. Fokus bermain PSP. 

            Hanya pembantunya yang sedari tadi heboh menyuruh anak kecil itu menghabiskan nasi goreng yang terhidang. Seragamnya merah muda lusuh, rambutnya dicepol, dan logatnya terdengar kental, dibumbui nada getir takut dimarahi oleh majikannya karena tak berhasil membuat sang anak makan. Selanjutnya ada juga satu yang dari tadi terdiam. Sebuah figurine bajak laut seukuran tangan, dengan salah satu mata tentunya tertutup oleh eyepatch. Melihatnya, aku ingin menertawai. Terkesan sombong, tapi lihatlah. Dia sendirian dan menjadi korban keganasan teknologi. Aku ingat jamanku kecil aku akan menganggap mainan seperti boneka Barbie adalah teman yang hidup. Aku akan membawanya ke sana ke mari dan mengajaknya turut terlelap di atas kasurku yang empuk. Tetapi jaman sekarang? Boro-boro seorang anak kecil ingin mengajak bonekanya terlelap. Mereka biasanya sudah keburu ketiduran saat sedang menuntaskan setengah game di perangkat elektroniknya.

            Aku ganti memalingkan pandangan ke arah kanan. Keadaan sepertinya tak jauh berbeda. Laki-laki dan perempuan yang usianya mungkin hanya setahun lebih tua dariku hadir untuk acara date mereka. Sejauh ini tak ada getaran suara keluar dari bibir masing-masing. Karena lagi-lagi tubuh mereka memang ada di sini, tetapi pikiran mereka ada pada lawan bicara dari balik telepon genggam.

            "Permisi, ini pesanannya, satu kwetiaw siram seafood, dua dimsum udang...." Seorang pramusaji tiba-tiba datang membawa seluruh yang kami pesan. Menatanya di atas meja, tampaklah asap mengepul-ngepul dari bebek, dimsum, aneka panganan lain, dan yang paling penting, bubur ayam khas restoran ini. Bubur ayam favoritku.

Aku menyendok sesuap demi sesuap, dan lalu memandang kedua orang tuaku. Ayah dengan pakaian bolanya mulai meracik bumbu untuk nasi ayam hainan. Makanan yang sebenarnya sudah cukup berbumbu, tetapi Ayah selalu bersikukuh itu tak lengkap jika tanpa saus sambal, merica, dan kecap pedas.   Bunda lain lagi. Ia sibuk membuka satu persatu penutup hakau dan dimsum, dan kemudian  mengambilnya dengan sumpit untuk meletakannya pada mangkukku. Bukan mangkuknya.

***

            Waktu berselang. And actually, tak ada kata yang juga ke luar dari kedua orangtuaku ini. Mereka memang menepati janjinya. Tak ada satu pun gadget terlihat digunakan. Seperti yang kuharap bisa membuat setidaknya kita tak terdiam tanpa kata.

Ayah dan Bunda sebenarnya telah bertengkar sedari seminggu yang lalu. Apa topik permasalahannya? Mana aku tahu. Yang jelas acara makan malam ini aku usulkan dengan maksud tersembunyi. Membuat mereka berbaikan. Tetapi sepertinya gagal.