Firasat Maya

By Astri Soeparyono, Minggu, 17 Juni 2012 | 16:00 WIB
Firasat Maya (Astri Soeparyono)

Telah hampir sebulan, Maya merasa ada yang aneh pada diri Dimas, sobatnya. Bagi orang lain, mungkin apa yang terjadi pada diri Dimas, biasa-biasa saja. Tapi bagi Maya yang telah mengenal Dimas sebagai teman sepermainan sedari kecil hingga menjadi teman sekolah seperti saat sekarang, merasa ada yang tak pernah terjadi pada Dimas sebelumnya. Anehnya, setiap Maya mau berterus terang tentang keanehan yang dirasakannya itu, bibir Maya terkatup rapat, terkunci oleh pandangan Dimas yang juga menurutnya menyimpan misteri.

            "Sudah shalat?"

            Dimas mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Maya barusan. Anggukan yang begitu lama dipertimbangkan sebelumnya. Bukan karena jawaban seharusnya adalah gelengan. Maya memang telah shalat Maghrib lima belas menit yang lalu. Yang membuat Maya lama baru mengangguk adalah pertanyaan Dimas yang tak pernah dilontarkannya sebelumnya. Bahkan Dimas untuk shalat tepat waktu.

            Selama ini Dimas dikenalkannya sebagai orang cuek. Jangankan untuk bertanya tentang shalat Maya, untuk menegur pun terkadang Maya harus mulai duluan. Meski banyak yang menganggapnya sombong, tapi bagi Maya lain. Dimas adalah orang yang mendulang emas dengan diam, bicara seperlunya. Begitu penilaian Maya tentang Dimas.

            Tapi kini, penilaian itu terkikis. Telah hadir Dimas yang lain dalam diri Dimas yang sebenarnya. Penuh misteri, sarat dengan teka-teki buat Maya. Dan entah atas bisikan siapa, dia merasa jika ajal Dimas telah dekat.

            Dulu saat ayah Maya mau meninggal, dia juga meninggalkan tanda-tanda seperti yang Dimas kini tampakkan. Namun sayang, sedikitpun tanda-tanda itu tak terbaca oleh Maya. Sekarang dia tak ingin kecolongan lagi, dia harus menemani hari-hari terakhir sahabatnya itu dengan kenangan yang bisa membuatnya tenang di alam baqanya kelak.

            "Mungkin saya enggak bisa jemput kamu ke sekolah besok," ungkap Dimas setelah merapatkan duduk di kursi teras. "Saya harus mengantar Papa ke kantor, Mobilnya rusak. Pulang sekolah kita boleh barengan jemput Papa di kantor."

            Lanjutan kalimat Dimas kembali membuat dadanya berdebar kencang. Nanya saya sudah shalat belum? Mengantar Papa ke kantor? Kalimat itu dicerna kembali oleh pikirannya. Maya semakin memastikan jika dia akan kehilangan sahabatnya untuk selamanya. Dulu, setiap Dimas mengeluh dengan mobil Papanya yang sering rusak, akhir dari keluhannya pastilah meminjamkan mobil untuk Papanya, lalu rela berpeluh dan bergelantungan di bis dengan penumpang lainnya, asalkan bersama dengan Maya.

            Tapi kini, seolah Dimas ingin menunjukkan jika dia adalah anak yang berbakti pada orang tuanya. Ingin meninggalkan kenangan indah untuk Papanya.

            Maya mendesah sejenak, mencoba mencari tahu sesuatu dari bola mata sahabatnya. Dimas yang merasa dirinya ditatap tak seperti biasanya, hanya membuang pandangan.

            "Kamu ada masalah?"

            Maya mencoba menelusuri arus perasaan Dimas. Tapi jawaban yang diterimanya adalah gelengan.