"Saya hanya merasa bahwa akhir-akhir ini saya banyak bersalah sama kamu. Semoga saja ini bukan sebuah dosa," ungkap Dimas di akhir gelengannya.
"Salah? Dosa?"
Kening Maya berkerut pertanda bingung.
"Ya, bersalah. Kamu begitu baik padaku, mengingatkanku untuk shalat bahkan menegurku saat terlalu banyak bergaul dengan preman kompleks rumahku. Sementara saya? Terlalu cuek untuk ukuran sahabat."
"Saya sudah memaklumi sikap cuekmu itu sejak dulu. Sejak kita sepakat untuk menjadi sahabat. Bahkan cuekmu itu kukagumi. Bagiku, itu lebih baik daripada bicara tanpa juntrungan."
Maya mencoba menenangkan perasaan bersalah Dimas. Bisu kemudian. Hingga beberapa menit. Maya larut dalam pikirannya, membayangkan tubuh Dimas terbujur kaku, dikafani dan tentu saja ditangisi.
"Saya pulang dulu, May."
Maya tersentak. Lamunannya buyar. Firasat tentang kematian Dimas yang selama ini menghantui, membuatnya banyak melamun. Hingga dia lupa membuatkan minum untuk sahabatnya itu, bahkan memanggilnya masuk ke kamar tamu. Sejak tadi dia menerima kehadiran Dimas di teras. Padahal sebelumnya? Kembali kening Maya berkerut. Bukankah sebelumnya, setiap dia datang selalu masuk rumah tanpa dipersilakan? Pikir Maya bingung.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balasnya.
"Oh iya! Hati-hati di jalan, jangan ngebut!" teriak Maya.
Sepeninggal Dimas, Maya langsung masuk kamar. Malam ini otaknya tak bisa mencerna pelajaran apa pun. Yang ada di lembaran buku yang dibukanya adalah bayangan seseorang yang terbungkus kafan dan ditangisi. Maya menggeleng keras, melemparkan buku yang dipegangnya lalu menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR