"Di, tunggu!" aku tetap berjalan, berpura-pura tidak mendengar suaranya. Kenapa sih orang ini biasanya ganggu aku terus? Pipiku memanas saat mengingat insiden barusan. Ya Tuhan, kenapa aku harus kenal dia sih?
"Adia!" panggilnya lagi, kali ini panggilnya diikuti cengkeraman tangannya di pergelangan tanganku. Aku menyentakkan tanganku dan berusaha mengacuhkannya, tapi dia sudah berdiri tepat di hadapanku, siap menghalangi setiap langkahku.
"Minggir," perintahku dingin, menolak menatap matanya.
Dia tetap bergeming. Aku berusaha melangkah ke kanan, tapi dia ikut ke kanan. Begitu pula saat aku mencoba ke kiri. Aku mengangkat kepala untuk memelototinya, kejengkelanku semakin memuncak saat aku melihat cengiran tololnya masih menempel di wajahnya."Enggak lihat orang mau jalan, ya? Minggir." Aku berusaha untuk tidak membentaknya, karena aku tidak ingin menarik perhatian orang. Sekarang saja orang-orang sudah menatap kami dengan penasaran .
"Kamu marah, ya?"tanyanya.
Aku memutar bola mataku.
"Masih perlu tanya?" tanyaku balik sambil melipat kedua tanganku di depan dada. Aku tidak tahu kenapa aku bgitu marah, padahal aku biasanya bisa mengacuhkan segala macam gangguan dengan mudah. Namun Adam bukan Cuma gangguan biasa. Dia itu seperti nyamuk yang selalu mendengung di telingamu. Kau menghibas-ngibaskan tanganmu untuk mengusirnya, dan kadang dia akan pergi, tetapi dijamin dia akan kembali lagi dalam hitungan menit, bahkan detik.
"Maaf deh, Di, tapi aku enggak tahu kenapa kamu marah. Aku kan serius," ujarnya sambil berlagak kebingungan. Ingin rasanya aku melemparkan tas di tanganku ke kepalanya, tapi mengingat kami berada di lapangan parkir sekolah dan aku bisa kena masalah besar kalau melukai sesama murid, aku hanya melototinya.
"Kalau itu caramu serius, aku benar-benar enggak mau tahu cara bercandamu kayak apa. Lagipula, kamu enggak perlu susah-susah minta maaf. Aku engak bakal pernah maafin kamu," kataku setenang yang aku bisa.
"Kalau aku ulangi lagi sekarang, kamu bakal percaya enggak?" tannyanya.
Aku enggak bisa mengerti kenapa dia enggak menyerah saja. Biarpun aku percaya dia serius, itu enggak akan mempengaruhi jawaban akhirku.
"Mungkin aku bakal percaya, tapi jawabannya tetap enggak," jawabku. Seskali lagi aku mencoba melewatinya, tapi dia sekali lagi mencengkeram lenganku. Genggamannya cukup kuat untuk menghentikan langkahku, tapi tidak cukup kasar untuk melukaiku. Dari pojok mataku, aku bisa melihat beberapa orang yang terang-terangan menonton kami. Usahaku untuk melepaskan diri sia-sia saja dan aku nyaris membentaknya, tapi kata-kataku terhenti saat aku melihat ekspresi di wajahnya. Matanya yang hitam legam menatap langsung ke dalam mataku, tawa yang ada di dalamya lenyap. Cengiran konyol itu juga sudah terhapus dari wajahnya.