"Kenapa enggak?" tanyanya. Suaranya rendah dan dia terlihat... kecewa? Mungkinkah dia kecewa karena aku? Itu terlalu tidak masuk akal.
"Karena, Adam, kamu bukan tipeku," jawabku singkat sambil menarik lenganku. Aku membalikan badan dan langsung meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Betapa leganya aku saat melihat mobilku terparkir di dekat pintu keluar. Supirku datang dengan sigap aku langsung masuk ke dalam mobil. Satu lirikan ke dalam kaca spion memberitahuku bahwa Adam sudah pergi. Aku menyandarkan kepalaku di punggung kursi, kelelahan. Aku berusaha untuk tidak memikirkan Adam dan apa yang dia lakukan tadi siang, tapi memori itu terus terulang di kepalaku seperti film rusak.
***
Jam pelajaran Fisika pagi ini kosong karena Bu Anna sedang sakit. Beberapa anak, termasuk aku, memilih untuk mengerjakan tugas yang ditinggalkan Bu Anna. Beberapa anak lain, termasuk Adam, memilih untuk bercanda dan mengobrol sendiri, terutama karena tidak ada guru pengganti. Adam dan gerombolannya duduk di pojok, tertawa dan bicara keras-keras. Sesekali kata-kata umpatan meluncur dengan mudahnya dari mulut mereka. Kurasa itu salah satu hal yang membuatku memandang rendah Adam dan kronisnya. Mereka mengucapkan kata-kata kotor semuda mereka mengganyang makanan enak.
Kegaduhan mereka sejenak meredah, namun tawa mereka langsung meledak lagi. Samar-samar aku mendengar mereka berbisik-bisik diselingi tawa, namun pada saat itu aku tidak mempedulikan tingkah mereka itu. tentu saja, waktu itu aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba saja johan, salah satu teman Adam, berseru, "Oi teman-teman, tenang dulu ya. Adam punya pengumuman penting, nih!" teman-temannya bertepuk tangan dengan penuh semangat sambil tertawa-tawa. Anak-anak yang lain saling bertukar pandang dan mengangkat bahu, tidak bisa menebak apa yang akan dilakukannya, dan bersiap-siap mendapat tontonan gratis. Aku dengan keras kepala menolak memperhatikan, walaupun Belinda sudah menyikut tanganku.
"Di, dia ke sini!" bisik Belinda.
Aku mengerutkan kening padanya, lalu menoleh ke arah Adam. Firasatku langsung tidak enak saat matanya bertemu mataku, dan langkah kakinya benar-benar mengarah ke mejaku. Kelasku mendadak sunyi, dan badanku menegang. Apapun yang akan dilakukan Adam bukan sesuatu yang akan kusukai.
Dia dengan segera sudah berdiri di depan mejaku. Aku menaikkan satu alis kepada Belinda, bertanya-tanya. Belinda mengangkat bahu, namun sebuah senyum kecil terbentuk di bibirnya seolah-olah dia sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Adam. Adam menunduk untuk menatapku, dan aku membalas tatapannya. Di lubuk hatiku, aku bisa menebak apa yang akan dia katakan, namun aku menolak mempercayainya.
Tidak ada ekspresi ragu-ragu atau malu saat dia mulai bicara. Suaranya lantang, memastikan seluruh kelas bisa mendengar kata-katanya." Adia, aku sayang kamu. Mau enggak jadi pacarku?"
Seisi kelas langsung riuh rendah sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, yang cowok bersuit-suit dan bertepuk tangan sementara yang cewek cekikikan dan ikut menyoraki Adam. Aku? Aku merasa disiram es. Aku Cuma bisa menatapnya dengan shock tanpa sanggup membentuk kata-kata penolakan. Rasa kaget itu segera digantikan kemarahan saat Adam nyengir lebar pada teman-temannya.
Dia tidak serius, semua ini hanya main-main. Dia hanya melakukan tantangan dari temannya. Segera setelah aku jawab, iya aku tidak, dia akan kembali pada teman-temannya denga puas karena sudah berhasil melakukan tantangan itu. adam tidak mungkin menyukai aku, dan sudah jelas aku tidak menyukainya.
Aku menatapnya lurus-lurus sebelum berkata dengan suara rendah namun jelas. "Enggak."
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR