Bisakah Seseorang Mati Karena Patah Hati?

By Astri Soeparyono, Senin, 13 Januari 2014 | 16:00 WIB
Bisakah Seseorang Mati Karena Patah Hati? (Astri Soeparyono)

Ungkapan mati karena patah hati tampaknya enggak sekadar omong kosong. Hasil penelitian menunjukkan, mungkin saja seseorang meninggal karena patah hati ditinggal pergi pasangannya. 

Dalam suatu riset para peneliti dari Harvard menemukan, ketika seseorang ditinggal mati oleh pasangannya, maka risiko kematian orang yang ditinggalkan pasangannya itu bakal meningkat. Risiko paling tinggi tercatat pada 3 bulan pertama seusai ditinggalkan, yaitu bisa mencapai 66 persen.

Penelitian ini melibatkan lebih dari 26 ribu warga Amerika berusia lebih dari 50 tahun. Fokus riset adalah 12.316 partisipan yang menikah pada 1998, dan perjalanan mereka dipantau hingga 2008. Selama penelitian ini dilihat apakah responden menjadi janda atau duda. Peneliti juga mencatat kapan pasangannya itu meninggal dunia.

Hasilnya, pada periode tersebut sebanyak 2.912 responden meninggal. Dari jumlah tersebut sebanyak 2.373 responden meninggalkan pasangannya, sedangkan 539 lainnya berstatus sebagai janda atau duda. Risiko meninggal janda atau duda lebih besar dibanding saat pasangannya masih ada.

Sebanyak 50 orang dari 539 responden meninggal 3 bulan setelah ditinggal pasangannya. Sebanyak 26 lainnya menyusul dengan jangka waktu kurang dari 6 bulan. Sedangkan 44 lainnya meninggal dengan kisaran waktu 6-12 bulan.

Berbeda dengan riset sebelumnya yang menyatakan peluang pria lebih besar, penelitian ini membuktikan wanita juga memiliki risiko yang sama. Hal ini mungkin dikarenakan pengaruh salah satu pihak dalam menentukan pendapatan dan standar hidup di masa lampau.

Peneliti mengatakan, mereka masih belum mendapat penjelasan yang tepat mengapa hal tersebut terjadi. "Bisa saja dikatakan hal tersebut memang sewajarnya. Namun hasil ini mengindikasikan perawatan pasangan yang sedang sakit mungkin menyebabkan penurunan kondisi pihak yang sehat. Saat sakit semakin parah, pihak yang sehat lantas melupakan sama sekali kesehatannya," kata pimpinan riset Dr S V Subramanian.

Riset ini memang hanya dilakukan pada responden berusia lebih dari 50 tahun sehingga tidak diketahui apakah pasangan yang lebih muda mengalami hal yang sama. Namun, menurut Subramanian, efek pada pasangan muda mungkin saja lebih kuat. 

Beberapa ahli menyatakan, hal ini dapat diakibatkan oleh perubahan gaya hidup. Setiap pasangan terbiasa melakukan sesuatu bersama-sama, tetapi kebersamaan itu tak lagi terwujud saat salah satunya meninggal.

"Akibatnya pasangan yang ditinggal tidak lagi makan, tidur, dan mengonsumsi obat dengan baik," ujar gerontologis dari The College of New Rochelle, New York, dr Ken Doka.

Selain itu, pemakaman juga bisa menjadi sesuatu yang berat dan penuh tekanan bagi lansia, sehingga tidak heran bila pihak yang ditinggal merasa stres.

Khusus pada janda, Doka menambahkan, mereka biasanya akan merasa kesepian dan tidak tahu harus proaktif untuk menemukan lagi pasangan. Hal ini dikarenakan, para janda sering kali tidak mendapatkan dukungan dan mereka juga adalah ibu yang selalu menjaga dan memelihara anak-anaknya. 

(gita rama/ hai, foto: liveyourmagic.com)