Perubahan itu menakutkan. Makanya ketika masuk ke sekolah baru, lingkungan baru, kantor baru, awalnya terasa menakutkan. Atau ketika pertama kali menstruasi, pertama kali jatuh cinta, dan pertama kali harus patah hati. Karena asing, karena baru, karena kita enggak punya rekaman pengetahuan tentangnya dan enggak tahu bagaimana hasil akhirnya nanti. Dan wajar merasa takut di ambang perubahan. Persoalannya adalah, apa yang kemudian akan kita lakukan?
Saya masih ingat ketika pertama kali media cetak di perusahaan tempat saya bekerja tutup, majalah Prevention. Redaksi majalah kesehatan lisensi dari Amerika ini, letaknya bersebelahan dengan redaksi kaWanku. Dulu kantor kami masih di Graha Mandiri, Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Pagi pertama setelah majalah ini tutup, rasanya bagaikan hidup dalam montage film durasi 10 menit dengan soundtrack Lovely Day, Bill Withers. Di kepala saya seperti berputar potongan rekaman wajah para redaksi, tawa mereka yang kadang memecah hari, dan senyum sapaan mereka. Ada bagian kecil di hati saya yang terasa seperti dicubit. Pedih.
Dalam hitungan tahun, beberapa majalah lainnya pun menyusul, walau enggak semua secara bersamaan. Majalah Sekar, Instyle, Martha Stewart Living, More, dan akhirnya Chic. Yang di hati awalnya terasa seperti cubitan, lama-lama jadi seperti retak. Tapi kemudian saya (dan saya rasa redaksi kaWanku lainnya) belajar untuk move on, kami mulai kebal. Kami mulai belajar menerima setiap kejadian dan keadaan dengan enggak baper, dengan muka datar, tanpa drama, langsung memutar otak, “okay, what to do next?”
Jokes internal kami di redaksi kaWanku yang kebanyakan masih berusia 30-an ke bawah ini adalah, we are the last survivor. Dari Lifestyle Division milik Kompas Gramedia Group of Magazine yang berkantor di pusat kota, kami lah yang akhirnya tersisa. Dan kami pun sudah pulang ke Kampung Panjang (begitu sebutan untuk lokasi kantor sekarang) di Jakarta Barat. Perjalanan panjang kami ke barat pun enggak mudah.
PR baru kami adalah menggenjot traffic di kawankumagz.com. Yang sebelumnya masih diperlakukan sebagai secondary dari produk utamanya, majalah. Tapi, seperti kegamangan media cetak lainnya, majalah tetap enggak bisa ditinggalkan, masih ada pembacanya, masih ada pengiklannya. Beberapa tahun belakangan ini pun kami mencoba berbagai cara dan upaya untuk memaksimalkan keduanya. Hingga akhirnya di November 2016 jumlah pengunjung kawankumagz.com mencapai 2,5 juta dengan 7 juta artikel yang dibaca dalam satu bulannya.
Tapi enggak semua ada di tangan kami, apalagi kalau sudah ngomongin perubahan. Yang di awal saya katakan menakutkan tadi. Perubahan apa, sih? Kamu. Kita semua berubah. Apalagi dalam kebiasaan mengakses informasi. Kita enggak lagi berbasis kertas, kita lebih mengandalkan data dan koneksi internet.
Perlahan tapi pasti era digital telah mengubah banyak hal, termasuk kebiasaan orang mencari informasi. Dan ini paling terasa di kalangan remaja. Menurut penelitian Nielsen Consumer Media View yang dilakukan pada tahun 2010-2016 di sebelas kota di Indonesia, hanya 9% remaja (usia 10-19 tahun) yang membeli dan membaca media cetak. Sementara 81% lainnya lebih memilih untuk mendapatkan informasi dari internet. Situs serta media sosial telah menjadi tempat yang paling bisa diandalkan di masa informasi yang mementingkan efisiensi ini.
Dan perubahan ini sangat kami sadari beberapa tahun ke belakang. Memori saya langsung kembali ke masa kuliah akhir, tahun 2009, sempat ikut kuliah bersama dengan topik Di ruang kelas di Jatinangor itu, saya belajar kalau katanya 5 tahun lagi, media cetak akan mati. Tapi, ini kan perkiraan, bukan vonis. Walaupun kemudian sejak 2015 lalu, berbagai media massa cetak memang ‘berguguran’ dan bukan hanya di perusahaan tempat saya bekerja saja, dan bukan hanya di Indonesia saja. Saya juga jadi teringat tulisan wartawan senior Kompas yang sempat viral beberapa waktu lalu, yang mengatakan soal . Saya pun tersadar, , the future is now.
Saya ingat, ketika lulus kuliah untuk profesi jurnalis, saya hanya melamar ke Kompas Gramedia. Karena menurut saya, perusahaan ini terbaik di media cetak nasional. Berawal dari Kompas dan Intisari, berawal dari cita-cita mulia memberikan informasi dan inspirasi yang mencerahkan bangsa. Sebagai perusahaan yang sejak awal bergelut dengan media cetak, perubahan ini tentunya menakutkan. Dan sekali lagi saya sampaikan, ini wajar. Yang enggak wajar adalah membiarkan rasa takut menang. Saya di kaWanku enggak diajari seperti itu. Sebagai perempuan, saya sangat akrab dengan rasa takut, saya juga ditantang setiap hari untuk mengatasinya, bukan untuk melawannya. Karena saya sadar, kalau bersamaan dengan rasa takut, dalam perubahan juga ada excitement, rasa antusias.
Karenanya saya bersama redaksi dan managemen yakin, kami harus ikut berubah bersama pembaca. Bukan enggak sayang, bukan enggak peduli pembaca, justru sebaliknya. Sebagai jurnalis, saya bersama redaksi setiap hari ‘dibayar’ untuk memeras otak mencari ide yang akan diubah menjadi konten; tulisan, foto, video, disain, infografis, aktivasi, hingga event. Dan kembali ke dasar, tujuan media adalah menyampaikan pesan. Ketika kami mengupayakan konten terbaik, kami berharap pesan kami sampai dengan efektif. Tapi apa jadinya kalau media atau channel yang kami gunakan sudah enggak efektif dalam menyampaikan pesan kami? Artinya ada yang harus diubah, supaya komunikasi kami dikatakan sukses. Kalau mengikuti model komunikasi sederhana, begini, lho: