CewekBanget.ID - Istilah toxic relationship pasti sudah enggak asing lagi di telinga kita.
Seruan kesehatan mental yang makin gencar dilakukan masyarakat kini makin menyadarkan pentingnya sehat secara psikologis.
Seperti yang kita tahu, toxic berarti racun, segala hal yang beracun pastinya enggak baik untuk tubuh, baik fisik maupun psikologis.
Baca Juga: Sepele, 3 Jenis Toxic Relationship Ini Enggak Sadar Dilakukan!
Jadi bisa disimpulkan bahwa hubungan yang toxic akan menebarkan ‘racun’ pada sisi psikologis kita.
Masalahnya, enggak sedikit pasangan yang enggan keluar atau menyelesaikan hubungan yang beracun ini.
Korbannya pun banyak yang memilih bertahan dengan berbagai alasan.
Sebenarnya, kenapa sih seseorang memilih tetap terjebak dalam hubungan toxic?
Psikolog Jennyfer membahasnya dalam IG Live bersama @personalitydoc Juni 2021 lalu, girls!
Alasan korban sulit keluar dari hubungan toxic
Alasan utama dari korban yang bertahan dalam toxic relationship adalah traumatic bonding.
Menurut Psikolog Jennyfer, traumatic bonding adalah sebuah respon psikologis saat korban membangun ikatan (bonding) yang enggak sehat dengan orang yang abuse dirinya, biasanya berlandaskan kasih sayang, rasa kasihan, dan empati korban terhadap pelaku.
Karena ikatan tersebut, korban merasa bahwa pelaku adalah orang penting dalam hidupnya meski sering memberikan luka.
Dalam hubungan, wajar banget kalau manusia membutuhkan keterikatan (attachment) untuk bertahan hidup.
Baca Juga: Red Flag! Jangan Lanjut Hubungan Pacaran Kalau Mengalami 5 Hal Ini!
Contohnya aja sejak lahir kita sudah terikat dengan orang lain, yaitu ibu dan ayah kita. Makanyasaat berada dalam toxic relationship, keterikatan yang enggak sehat terbentuk dan membuat korbannya sulit lepas dari pelaku.
Hal ini jadi lebih parah kalau korban memiliki ketergantugan (depend) pada pelaku; baik secara finansial, emosional, hingga bergantung atas semua kebutuhannya dari pelaku.
Perlakuan si pelaku toxic relationship
Memang enggak mudah melepaskan seseorang yang memegang kendali atas hidup kita, apalagi kalau kita belum siap hidup mandiri, ya.
Namun kalau enggak segera dilepas, siklus toxic relationship ini akan terus berulang dan makin menyakitkan secara emosional.
Fasenya dimulai dari pelaku abuse korban, kemudian meminta maaf atas tindakannya dan berjanji enggak akan mengulanginya.
Lalu korban memberikan forgiveness yang nantinya akan diubah pelaku sebagai pancingan (trigger) kembali, sehingga pertengkaran tak dapat dihindari dan kembali ke fase pertama lagi.
Hal ini akan berulang terus-menerus, itu sebabnya dikatakan sebagai toxic relationship.
Baca Juga: Terjebak dalam Toxic Relationsip, Cinta Laura Pengin Cewek Sadar!
Abuse sendiri adalah tindakan menyiksa korban baik secara verbal maupun non-verbal.
Verbal abuse harus dibedakan dengan argumen, ya.
Argumen enggak terjadi setiap hari dan wajar terjadi dalam suatu hubungan, misalnya membicarakan hal-hal dasar dalam hidup seperti, perbedaan pilihan sarapan di pagi hari atau beda cara membersihkan rumah.
Verbal abuse menggunakan kalimat yang bertujuan untuk menyerang, berusaha membuat kita selalu merasa bersalah, sedangkan non-verbal adalah melakukan tindakan yang berisiko melukai fisik, baik itu memukul dinding atau melempar benda-benda yang ada di sekeliling saat terjadi pertengkaran.
Yuk keluar dari toxic relationship!
Merasa terjebak dari toxic relationship dan enggak bisa berbuat apa-apa?
Kita harus ingat kalau kita enggak sendirian dan boleh banget minta bantuan orang lain, kok.
Jangan tunggu sampai kita lelah, sedih, dan depresi, yaa!
Lihat postingan ini di Instagram
Kita bisa menghubungi psikolog Jennyfer melalui Instagram @jen.psikolog atau @fathom.id.
Melalui kedua platform media sosial ini, kita bisa mendapatkan penanganan yang tepat, cepat, dan mudah.
Baca Juga: 5 Tipe Cowok yang Berpotensi Menyakiti Kita Tapi Tetap Disayang. Kok?
Semua prosesnya bersifat rahasia, jadi kita enggak perlu khawatir dan dapat melakukan konseling dengan aman.
Kita juga bisa pilih psikolog muda dan senior, tergantung kebutuhan secara online, jadi masa pandemi ini bukan halangan buat kita untuk tetap mencari bantuan, ya.
Jangan takut lagi ke psikolog, yuk buat janji konseling sekarang juga!
(*)
Penulis | : | None |
Editor | : | Marcella Oktania |
KOMENTAR