Di sisi lain, kita bukan berarti bersalah atas sesuatu yang menyebabkan trauma tersebut.
Misalnya, jika kita memiliki pacar yang abusive, tentu saja tindakan orang tersebut bukan tanggung jawab kita dan bukan salah kita pula apabila doi kerap bersikap kasar; sebaliknya, kita bertanggungjawab atas keamanan dan kenyamanan diri sendiri serta mencari tahu cara terbaik untuk dapat hidup lebih tenang dan bahagia.
Terlepas dari siapapun yang bersalah, kalau yang kita pikirkan hanya soal menyalahkan dan balas dendam, kita malah akan semakin menderita dalam hidup.
Baca Juga: Ashira Zamita Rilis Lagu Tentang Trauma Menjalani Hubungan, Relate?
Berperilaku Buruk
Trauma apapun yang kita miliki sama sekali bukan alasan untuk dapat berbuat buruk dan seenaknya terhadap orang lain.
Memang, trauma kerap menyebabkan kita merasakan amarah, kesedihan, kecemasan, kesulitan mempercayai orang lain, dan rendahnya kepercayaan diri.
Biasanya berbagai perasaan negatif ini kita rasakan pada tahap pertama dalam suasana berduka atau kesedihan.
Tapi ini bukan pembenaran atas sikap buruk yang mungkin kita lakukan kepada orang lain.
Jangan sampai luka lama dalam diri kita menjadikan kita sebagai monster atau penjahat yang dapat menyakiti diri sendiri dan orang lain.
Dengan menyadari dan mengakui trauma dan perilaku toxic, kita akan lebih mudah beranjak dari tahap emosional tersebut dan menyongsong masa depan yang lebih tenang.
Nah, kalau kita sulit memperbaiki sikap meski telah sadar bagaimana trauma memengaruhi perilaku kita tersebut, sebaiknya berkonsultasilah dengan psikolog atau ahli lainnya.
Bikin Orang Lain Takut Menyinggung Kita
Memiliki trauma berarti kita bisa lebih mudah tersinggung akibat hal-hal yang mungkin enggak harmful menurut orang lain.
Di sisi lain, orang-orang juga belum tentu paham akan trauma yang kita alami, sehingga mereka bisa jadi sengaja atau enggak sengaja membawa sesuatu yang traumatis ke hadapan kita.
Tapi bukan berarti kita bisa sembarangan bersikap buruk dan memaksa orang lain untuk menyesuaikan keseharian mereka dengan trauma dan perasaan kita sendiri.
Hal itu akan meninggalkan kesan kalau kita mengatur-atur kehidupan orang lain dan akhirnya membuat mereka enggak nyaman saat bersama kita karena mereka enggak dapat menjadi diri sendiri.
Jangan sampai kita malah membuat orang lain menjadi enabler alias orang yang membiarkan perilaku buruk karena malas mengingatkan atau takut menyinggung pelaku.
Sebaliknya, kitalah yang harus berusaha sendiri untuk menjauhkan diri dari berbagai sumber risiko pemicu trauma.
(*)
Source | : | Thought Catalog |
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Salsabila Putri Pertiwi |
KOMENTAR