"Saya menghabiskan kehidupan remaja saya untuk status sosial, penerimaan sosial, dan penampakan fisik yang basisnya adalah media sosial. Itu semua enggak nyata. Itu semua manipulasi untuk saling membandingkan diri dengan orang lain," ia menjelaskan.
Ini dia salah satu foto O'Neill dulu. Ia merasa kehidupannya enggak sebahagia yang tampak di foto-foto dunia maya.
Baca juga: 5 Cara Dapat Respon dari Seleb Idola di Instagram
4. Social media dapat menimbulkan rasa minder pada remaja
Menurut O'Neill, kecenderungan anak muda menghabiskan waktu berjam-jam menggulir linimasa media sosial menggoreskan luka mental tersendiri. Rasa minder, narsisme, ingin pamer, ingin diakui, hingga pada akhirnya memicu depresi.
Sebab, semua orang berlomba-lomba menunjukkan kehidupan paling sempurna di media sosial. Walau mereka (atau kita) harus berbohong untuk itu. Maniak media sosial ingin menampilkan wajah paling cantik, liburan paling mahal dan prestasi paling gemilang.
Padahal, foto-foto yang diunggah adalah hasil bidikan beratus-ratus kali dengan pengeditan super lama. "Saya dulu seperti itu," ujarnya.
5. Jangan melupakan kehidupan di dunia nyata
O'Neill enggak menyalahkan Instagram atau para pendiri media sosial. Sebab, media sosial seyogyanya lahir dengan maksud mulia: memudahkan komunikasi antar manusia menembus jarak dan waktu.
Hanya saja, pemanfaatannya telah berkembang jauh dari tujuan awal. Seenggaknya itu penilaian O'Neill. Saat ini, kata dia, media sosial membuat manusia lupa akan indahnya kehidupan nyata.
Bersosialisasi dengan orang-orang, mengobrol dan berdiskusi tentang hal-hal yang signifikan, berbagi, belajar hal-hal baru dan menemukan ketertarikan-ketertarikan dunia yang mungkin enggak terlihat karena manusia modern terlalu fokus dengan kehidupan maya.
Penulis | : | Natasha Erika |
Editor | : | Natasha Erika |
KOMENTAR