"Pulang?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Nggak. Kita jalan dulu."
*
"Nangis aja, sih," kataku pelan. Aku menyentuh punggung tangannya dengan ujung jariku.
Butuh keberanian yang luar biasa besar untuk melakukan itu. Namun, dari tadi perhatian Kanin entah di mana. Jadi aku sekalian saja menaruh tanganku di atasnya.
"Siapa yang mau nangis, coba?" sambar Kanin cepat. Aku mengangguk sok paham.
Kami ada di sebuah kafe di mal tengah kota. Tempat aku suka nongkrong dengan Kanin, Asti dan Dika dulu. Namun semenjak kami kelas 3 SMA, aku hanya sekelas dengan Kanin. Jadilah aku ke sini berdua dengannya sejak itu. Sama dengan Asti dan Dika yang sering ke sini tanpa kami.
"Nangis itu enggak selalu berarti cengeng. Menangislah kalau mau," kataku lagi.
Kanin mendelik. "Ih, apaan sih, Ka! Ngomongnya kok melankolis gitu? Ini dunia nyata, bukan sinetron!"
Aku tertawa, tawa terpaksa. Kanin menatapku sebal, lalu ikut tertawa juga. Namun tawanya tidak lepas. Kuperhatikan matanya. Setitik kepedihan pun tak ada. Benarkah ia merasa kehilangan? Dari tadi aku menunggunya mengeluarkan emosi apa pun tetapi ia datar saja.
"Pulang aja, yuk," Kanin bangkit. Aku mengangkat bahu, mengikutinya.
Kanin bicara panjang lebar, tentang hal-hal tidak penting. Aku hanya mengangguk, menggeleng, atau menggumam. Tiba-tiba ia menatapku lekat-lekat.
"Lo nunggu gue jadi histeris, ya?" tembak Kanin langsung.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR