Keluargaku pindah ke Virrenschoa beberapa hari yang lalu. Kata ibu, aku perlu berkeliling Virrenschoa. Namun ia, ayah atau pun kakak tidak bisa menemaniku karena mereka sibuk beres-beres di rumah. Karena itu aku akhirnya jalan-jalan sendiri. Virrenschoa cukup kecil sehingga aku tidak perlu khawatir akan tersesat, walaupun aku baru tinggal di sini beberapa hari.
Virrenschoa adalah kota kecil yang indah. Di Virrenschoa, semua sarana umum hanya ada satu; satu sekolah di setiap tingkatan, satu toko roti, satu toko buku, satu komplek kecil pasar tradisional, satu pasukan petugas keamanan dan lain-lain. Jalan-jalannya terdiri dari batu-batu heksagonal, yang di celah-celahnya kadang-kadang ditumbuhi rumput, bahkan bunga liar kecil. Bangunan-bangunannya tidak ada yang betul-betul besar atau kecil dan tidak ada gedung yang sama bentuk serta warnanya, dengan banyak bunga yang berbeda jenis yang menghiasinya. Penduduk Virrenschoa mengenal dengan baik satu sama lain.
Aku sampai di bagian paling barat Virrenschoa, tempat padang rumput luas yang di tengahnya berdiri sebuah pohon oak yang besar. Kulihat ada beberapa orang anak di sana. Aku pun berjalan mendekati mereka. Mereka bisa saja jadi teman-teman baruku di kota ini. Semakin dekat aku berjalan, aku melihat dengan lebih jelas ada 3 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Semakin dekat lagi aku menyadari bahwa anak-anak laki-laki itu tidak berteman dengan si gadis kecil. Mereka malah menjahatinya.
Aku segera berlari untuk menolong gadis kecil itu. Ketika aku hampir sampai, ketiga anak laki-laki itu berlari meninggalkan gadis kecil itu dalam kondisi rambut dan pakaian kusut. Dia gadis yang manis, dengan baju terusan berwarna krem yang bagian bawahnya mengembang dan dihiasi pita-pita. Lalu sepatunya yang berwarna merah marun dan kaus kaki rendanya. Rambutnya yang ikal cantik berwarna cokelat gelap.
Aku menghampiri si gadis kecil yang sedang merapikan penampilannya. Aku mendengar ia mengomel. Tentang betapa kesalnya dia pada anak-anak laki-laki itu, yang menjahili dan memalakinya hampir setiap hari. Ia mengoceh pada dirinya sendiri tanpa menyadari bahwa aku sudah berdiri tepat di depannya. Ketika mengangkat kepala, ia langsung terdiam. Dia memandangiku dengan sedikit kaget dan wajah memerah karena malu. Akhirnya aku memutuskan untuk memulai perkenalan.
"Hai! Aku Joshua Hutchkins. Aku baru beberapa hari tinggal di kota ini. Kau tahu Nyonya Deborah Turner? Dia nenekku. Boleh aku tahu siapa namamu? Aku harap kamu baik-baik saja."
Dia diam sebentar, lalu memperkenalkan diri dengan senyum ramah, "Namaku Annabelle Downey. Senang berkenalan denganmu. Dan, yah, aku baik-baik saja," Kami bersalaman. Lalu kami membicarakan banyak hal dan Annabelle menjadi teman pertamaku di Virrenschoa.
***
Kira-kira sudah lima kali aku menemui Annabelle di tempat yang sama. Kami berdua cukup akrab walaupun ternyata Annabelle anak yang pendiam. Aku sudah tahu bahwa orangtuanya memiliki toko permata dan rumahnya adalah rumah paling besar dan cantik di kota ini. Namun ayah dan ibunya sudah meninggal 5 tahun yang lalu, sehingga ia tinggal bersama paman dan bibinya yang juga mengurus toko permata Downeys' Diamond. Selain itu, sudah lima kali juga aku menemukan Annabelle melakukan hal yang sama; duduk di bawah pohon oak yang teduh sambil menulis puisi. Puisi-puisinya cukup bagus dan isinya fantasi. Di antaranya Gadis yang Terbang, Keluarga Awan, Tarian Bunga Dandellion dan Tuan Capung. Tapi menurutku anak seumuran Annabelle harusnya bermain, bukannya menulis puisi sepanjang hari.
"Kenapa kau tidak pernah bermain bersama teman-temanmu yang lain?" tanyaku.
Dia memandang ke depan sejenak. Lalu berkata, "Aku tidak pernah benar-benar punya teman, lagipula..." Annabelle diam sejenak. "Bibi tidak mengizinkanku bermain dengan anak-anak lain. Kata bibi jika aku bermain, bibi akan memecat semua pelayan di rumah dan aku yang akan mengerjakan semua pekerjaan rumah. Aku juga harus belajar selama tepat tiga jam sebelum makan malam. Jika tidak, aku tidak diberi makan malam. Sementara paman, satu-satunya hal yang ia pedulikan selain istrinya adalah uang," tuturnya panjang lebar. Lalu ia melanjutkan lagi. "Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya, kalau aku memberitahukan ini padamu."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Malang sekali nasib Annabelle. Pasti paman dan bibinya adalah pasangan jahat yang ingin menguasai harta peninggalan orang tua Annabelle dan sekarang mereka mau menyiksa Annabelle secara pelan-pelan dulu.
Suatu ketika aku mendapatkan ide bagus agar Annabelle bisa bermain tanpa takut dimarahi bibinya.
"Kau tidak perlu khawatir bibimu akan tahu. Kita bisa bermain di sini, atau di tempat tersembunyi lain, seperti sungai di bagian paling utara atau di kaki gunung di bagian paling timur Virrenschoa. Di sana aman dan tidak banyak orang, kan? Jika kau takut bajumu kotor, kau bisa melapisinya dengan jubah bekas kakakku dan pakai saja sepatu boots ini. Setuju?"
Maka di minggu-minggu berikutnya, aku mengajak Annabelle melakukan banyak hal. Kami bermain layang-layang, menangkap serangga, memancing, memetik buah beri dan banyak lagi. Selama bermain denganku, aku tidak pernah lagi melihat Annabelle dipalak oleh tiga anak nakal itu. Dia jadi terlihat lebih ceria dan...hidup. Kami menjadi sahabat yang tak terpisahkan.
Suatu hari, sekelompok anak laki-laki bermain kriket di padang rumput. Mereka adalah teman-temanku dan mereka memang sering bermain. Biasanya, hanya aku yang ikut bermain sedangkan Annabelle hanya akan melihat kami dari bawah pohon oak. Namun kali ini, aku membujuknya untuk ikut bermain. Annabelle setuju, namun anak-anak itu menolaknya.
"Tidak bisa. Anak perempuan mana bisa main kriket. Ini bukan main-main," tegas Bertie, salah satu dari anak-anak itu. Bukan main-main apanya? Jelas-jelas mereka akan bermain kriket.
"Memangnya kenapa?" tukasku. Annabelle diam saja di belakangku. "Jangan-jangan kalian takut dikalahkan oleh perempuan."
"Tentu saja tidak. Apa kau gila?" sahut Rikko, anak lainnya.
"Kalau begitu biarkanlah dia bermain. Aku berjanji dia akan berhenti jika permainannya buruk."
Mereka diam sejenak. Yah, sebenarnya mereka cukup lama berbisik-bisik untuk memutuskannya. Lalu... "Baiklah, Josh. Pegang kata-katamu. Aku bertaruh ia tidak akan pernah memukul bola," ledek Bertie, disambut dengan tawa mengejek dari anak-anak lain.
Permainan dimulai. Seorang anak laki-laki melempar bola, seorang lagi memukulnya, lalu berlari bolak-balik. Sangat seru. Hingga ketika giliran Annabelle memukul, timku sedikit grogi sedangkan tim lawan tersenyam-senyum sombong. Mereka begitu terkejut ketika Annabelle berhasil memukul cukup jauh, hingga mereka tercengang beberapa detik, yang menguntungkan tim kami. Permainan berakhir dengan tim kami menang.
***
Suatu hari, aku dan Annabelle merasa tidak ingin bermain yang memerlukan aktivitas fisik. Jadi kami memutuskan untuk bermain kartu dengan taruhan sejumlah apel yang semuanya milikku, di bawah pohon oak kesayangan kami. Kami tidak mempertaruhkan bekal, karena bekal Annabelle selalu sedikit dan tidak terlalu enak.
Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras. Hari memang mendung. Aku dan Annabelle segera berdiri di dekat pohon oak. Pohon itu memang berhasil melindungi kami dari hujan. Namun tiba-tiba saja petir menggelegar. Tentu saja berlindung di bawah pohon sangat tidak aman, apalagi tidak ada pohon lain di padang rumput ini. Maka kami segera beranjak pergi. Aku sudah berdiri di tengah hujan, sedangkan Annabelle masih berusaha membuka payungnya. Payungnya macet dan tidak kunjung terbuka. Jtarr.....! Petir kembali menggelegar. Sontak aku menarik lengan Annabelle. Aku tidak mau mati gosong di padang rumput ini. Kami berlari sekencang-kencangnya melintasi padang rumput yang luas itu.
Setelah lelah berlari-lari kami berteduh di emperan sebuah toko buku tua. Kami berdiri berhimpitan dan menggigil. Tiba-tiba terdengar suara isakan. Ternyata Annabelle menangis. Aku menanyakan apa masalahnya dan dia berkata.
"Aku akan mendapat masalah besar," ia sesenggukan. "Bibi sangat tidak menyukai ini. Selama ini bibi juga diam saja melihat aku pulang terlambat beberapa menit. Ia pasti curiga. Bibi lebih mengerikan ketika marah setelah tidak mengacuhkanku cukup lama."
Annabelle tersedu-sedu lagi. Aku berusaha membujuk dan menenangkannya. Aku merangkulnya dan mengelus-elus kepalanya.
Setelah hujannya reda aku mengantarkannya pulang sampai rumah. Tepat ketika kami sampai di depan rumah Annabelle, bibinya membukakan pintu dengan ekspresi datar. Ia sama sekali tidak tampak akan beramah tamah padaku. Annabelle naik ke rumahnya sendiri, lalu aku berpamitan. Rasanya aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Annabelle.
***
Kemana Annabelle? Aku tidak melihatnya di mana pun. Dia tidak ada di mana pun. Tidak di sekolah, toko Downeys' Diamond, di padang rumput, sungai atau di tempat-tempat lain. Aku sudah pergi ke hampir semua tempat kecuali rumahnya. Sudah 2 minggu sejak terakhir kali aku melihatnya, sejak hari hujan itu.
Sekarang aku di gerbang rumah Annabelle. Aku tidak melihatnya. Besar kemungkinan bibinya yang jahat itu mengurungnya di rumah. Aku mengetuk pintu rumahnya dan menunggu seseorang membukakan pintu. Beberapa saat setelah itu, seorang pelayan membukakan pintu. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya.
"Apakah Annabelle ada di rumah?" tanyaku.
"Maaf, Nak, ia baru saja pergi. Ada pesan atau titipan untuknya?"
Tanpa menjawab pertanyaan si pelayan aku bertanya lagi, "Apa kau yakin Annabelle telah pergi?"
Pelayan itu mengernyit, lalu menjawab lagi. "Tentu saja. Kalau kau ingin tahu ia ke mana, ia sedang ke pasar untuk membeli lobak. Ada lagi?"
Aku segera pamitan dan beranjak dari rumah itu.
Sesampainya di pasar yang padat, aku tidak bisa menemukan Annabelle. Cukup lama aku mencari-cari hingga ingin kembali lagi ke rumah Annabelle karena merasa telah ditipu, hingga akhirnya aku menemukan Annabelle. Tapi ia tidak sendiri, melainkan dikelilingi oleh 3 anak nakal yang pernah memalaknya tempo hari. Aku segera ke sana dengan setengah berlari.
Anak-anak nakal itu lagi-lagi memalak Annabelle. Mereka sampai merebut tas belanja Annabelle dan melemparkan lobak-lobak yang ada di dalamnya. Aku tidak tinggal diam dan mendatangi mereka.
Aku hendak menolong Annabelle, namun salah satu dari mereka menghalangiku sambil berkata dengan keras, "Menjauhlah, Hutchkins! Kau tidak ada urusan di sini!"
"Ya, pergilah!" seru yang satu lagi sambil mendorongku dengan keras hingga aku jatuh terjerembab.
Orang-orang di pasar sempat melihat kami, namun tidak ada yang benar-benar peduli. Mungkin mereka pikir ini hanya kenakalan anak-anak biasa dan belum terlalu gawat. Annabelle melihat itu semua dengan pandangan marah. Tiba-tiba ia berteriak, "Cukup!" dan terjadilah semuanya.
Ada sinar yang begitu terang memancar dari dada Annabelle. Semua orang di sekitar situ mundur dengan mata menyipit. Tubuh Annabelle terangkat sedikit demi sedikit ke langit. Sinar terang memancar dari seluruh tubuhnya, sementara langit malah merubah menjadi lebih gelap. Lalu sepasang sayap indah yang keperakan tumbuh di punggungnya. Sebuah puisi karangan Annabelle yang pernah kubaca, berubah menjadi kenyataan.
Hei lihat!
Gadis itu terbang!
Gadis yang termangu bersama ilalang
Gadis yang terpaku pada awan yang berserakan
Kini sayap-sayap indah tumbuh
Dan bulu-bulu ilalang terbang mengikutinya
Ketiga anak jahat itu menengadah kepada Annabelle dan mematung. Mereka benar-benar membeku, seakan jiwa-jiwa mereka telah terhisap ke dalam sinar-sinar dari tubuh Annabelle. Mereka terlihat kesakitan, namun juga kosong, sangat mengerikan. Semua orang di sekitar taman juga membeku. Semuanya menengadah dengan mata terbelalak, sebagian dengan mulut menganga. Mereka semua terlalu terkejut untuk berteriak. Barang-barang yang mereka pegang terjatuh ke tanah. Semua orang terpaku pada seorang gadis yang terbang, dengan sepasang sayap seperti sayap kupu-kupu, namun jauh lebih besar dan indah.
Annabelle turun perlahan-lahan dengan sinar-sinar indah dari tubuhnya yang berkilau-kilau. Semua orang, dengan masih tekejut, mundur, membiarkan aku sendiri berdiri di depan. Cahayanya sangat menyilaukan. Perlahan-lahan cahayanya meredup dan sosok Annabelle terlihat dengan jelas di hadapanku.
"Joshua, aku tak punya banyak waktu. Aku akan pergi ke tempat mereka. Mereka telah memberitahukannya," ia menunjuk ke arah langit. "Kau tidak akan melupakanku, kan?"
Hening sejenak. Entah mengapa, aku tidak ingin bertanya apa pun, walaupun jelas sangat tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi. Aku merasa sangat sedih. Namun aku seakan telah mengerti semuanya, tanpa benar-benar mengetahuinya. Aku menyentuh sayap Annabelle yang lembut, lalu membelai rambutnya, sambil menjawab, "Aku tak akan melupakanmu, Ann. Bagaimana denganmu?"
"Aku tak mungkin bisa melupakanmu. Aku sangat menyayangimu," Annabelle memelukku. Pelukan pertama dan terakhir kami.
Setelah itu Annabelle terbang dengan cahaya-cahaya yang memancar dari seluruh tubuhnya. Aku tidak melepaskan pandanganku darinya, hingga ia menjadi titik kecil di langit, lalu menghilang di balik awan. Setelah itu, langit kembali cerah dan semua orang sadar. Orang-orang itu ribut, seseorang berteriak kami harus melihat rumah keluarga Downey. Semua orang berbondong-bondong ke sana. Pemandangan yang sangat mengejutkan di rumah besar itu; rumahnya telah rata dengan tanah, yang tersisa hanya puing-puing dan abu.
Seorang ibu berteriak lagi mengajak kami mengecek toko Downeys' Diamond. Ketika semua orang sampai di sana, lagi-lagi pemandangan mengejutkan; debu-debu berkilauan terbang memenuhi toko dan semua permata hilang tak berbekas.
***
(Oleh: Nadia Anisah Rizar, foto: weheartit.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR