Semakin hari, perasaan ini semakin kuat. Perasaan ini sangat menganggu. Bagaimana mungkin setiap saat hanya Arian yang ada di pikiranku. Bagaimana mugkin setiap saat aku selalu ingin bersama Arian. Ini menyakitkan. Mungkin lain persoalan jika dalam kisah ini tak ada Nara. Bila ada pun, setidaknya Arian tidak menyayanginya. Ini akan menjadi sangat mudah dan menguntungkanku. Andai saja ini kisah sebuah novel dan aku pengarangnya, akan kuhapus saja Nara dari kisahku dan Arian. Tapi ini realita. Tak dapat dipungkiri dan dielakkan.
Di hari berikutnya, lagi-lagi hujan menyaksikan kisahku bersama Arian. Cinta pertamaku. Hari ini kami berjalan berdua saja di bawah satu payung. Arian tidak tahu bahwa saat itu hatiku berdegup kencang. Aku merasa sangat dekat dengannya. Dan ini adalah kali pertama. Ingin tersenyum bahagia, tapi harus kutahan. Aku harus mampu memendam ini untuk ke sekian kalinya.
Kupandangi diam-diam wajahnya yang terkena titik air hujan. Aku baru sadar, ternyata tubuh Arian memang tegap. Kepalaku hanya sejajar dengan bahunya. Dia sangat tinggi. Aku tersenyum kecil. Tiba-tiba ia menoleh seraya mengerutkan dahinya. Aku dengan seketika memalingkan wajahku.
"Kenapa?"
Aku tidak menjawab. Suaranya sangat jelas terdengar.
Tiba-tiba saja hujan semakin deras. Kami berdua memutuskan untuk berteduh di sebuah halte. Hanya aku dan Arian. Aku harus berusaha keras agar perasaan bahagiaku ini tidak membuncah. Agar perasaan ini tidak kasat mata.
"Harusnya hujan-hujan begini gue sama Nara. Pasti romantis! Hmmm...malahan bareng sama lo."
Aku meninju bahunya. Aku protes. Buatku ini romantis. Bersama cinta pertamaku di tengah hujan sore hari. Ayolah, Arian, coba nikmati saja momen ini. Setidaknya jangan bawa Nara di tengah hujan sore hari milik kita. Walaupun kamu mengharapkan Nara, simpanlah saja dulu di dalam hatimu. Seperti aku menyimpan harapan ini.
Arian memandang ke arahku. Tersenyum kecil. Aku tidak mampu membalas senyumnya. Aku palingkan wajahku. Aku takut kalau-kalau aku terbawa suasana dan menampilkan tatapan cinta pada Arian. Hening beberapa menit.
"Sebenarnya..." suara Arian terbata memecah sepi di antara kami. Tatapannya merawang. Aku tiba-tiba merasakan ada keganjilan. Aku palingkan wajahku padanya.
"Lo tau, kan, Kakek udah sakit-sakitan?"
Aku mengangguk pelan. Arian masih menatap kosong ke depan. Aku coba menerka apa yang akan ia ucapkan selanjutnya. Lima menit, sepuluh menit, masih kulihat bibirnya mengatup, tak ada pertanda bahwa ia akan melanjutkan ucapannya. Hingga hujan berhenti menjejak bumi, ia masih tak juga bicara. Aku pun tak punya nyali untuk bertanya. Hingga semua itu terjawab di suatu sore yang indah berikutnya dengan rintik-rintik gerimis membasahi taman.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR