Aku lanjut menyendok bubur ayamku. Sok-sok menambahkan tong cai serta bawang goreng di atasnya. Berusaha mencari kata, untuk mungkin kembali menghangatkan suasana yang ada. Misalnya saja "Bun, entar beli baju baru yuk di Zara. Itu, lho, yang model terbaru, kaos yang garis-garis."
Tapi yang ada hanya omelan Bundi. "Beli ini itu terus. Emang kamu kira uangnya gampang apa. Kamu itu sudah gede. Harusnya bisa cari duit sendiri, jangan minta-minta terus."
Dan hening. Ya hening lagi.
***
"Ha-ha-ha, mukaku jadi gendut, Ma. Ayo lagi, lagi."
Sejenak mataku menangkap kehangatan dari suatu tempat yang ironisnya adalah tempat figurine bajak laut itu berdiri. Ibu-ibu dengan Blackberry di genggamannya tadi telah bermetamorfosa menggenggam yang lain. Sama saja, sih. Ia sekarang menggenggam iPad, sebuah tablet yang aku tahu semua orang sudah mengerti kecanggihannya. Apa yang membuat kehangatan dan keceriaan itu muncul ialah bagaimana ia berhasil menggunakan iPad tersebut untuk menarik perhatian anaknya. Simple saja. Aku rasa ia menekan ikon Photobooth atau aplikasi semacam itu dan mencoba memotret anaknya. Anak kecil tentu akan tertarik dengan manipulasi semacam itu. Lucu, begitulah bagaimana ia menganggapnya.
Sementara di tempatku...tiba-tiba saja Ayah malah bangkit berdiri. Tersenyum sekilas dan pergi meninggalkan ruangan.
Aku melengos pasrah. Jika saja bajak laut itu benar hidup dan mendengar pikiranku tadi. Pasti dia yang akan menertawaiku sekarang. Menertawai kebodohanku mengata-ngatai kehidupan orang lain padahal sebenarnya keluarga yang kumiliki tak jauh lebih baik.
Sendok demi sendok yang kumasukkan ke kerongkongan mulai terasa hambar. Aku hanya ingin melihat keluargaku rukun seperti dulu. Seperti lima atau enam tahun yang lalu di restoran ini.
Tapi sepertinya itu mustahil. Dan lebih baik kuhabiskan saja bubur ini tanpa berpikir apa-apa lagi. Tak satu pun, termasuk tentang seberapa keras bajak laut itu tertawa.
***
Pukul 19.16. Tetap pada waktu Indonesia Bagian Barat.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR