Please, buat Farrel tertarik, Tuhan!
Namun Farrel tidak menyentuh tubuhku sama sekali. Ia hanya menciumku dan menatapku dengan sorot mata yang terkenang jelas dalam memoriku: indah, menikmati, namun juga bingung. Dan...cinta.
Cinta?
"Kamu mencintaiku, ya?" Tanya Farrel cukup kencang. Jarak kami sangat berjauhan kini.
Aku menggeleng, pura-pura polos, "Maksud kamu?"
"Kamu mencintai aku?" Farrel mengulang pertanyaannya, dengan nada yang sama-sama kerasnya, sama ketusnya, sama sakitnya. Tetapi, lagi-lagi aku merasakan ada aura cinta di matanya.
Aku, si bodoh berkepala dua ini, ternyata tidak bisa mensinkronisasikan apa yang ada dalam kepalaku dengan yang keluar dari mulutku. Tindakan yang sebenarnya ingin aku lakukan adalah menyangkal kenyataan bahwa aku memang mencintai Farrel, namun yang kulakukan malah mengangguk.
Aku mengangguk, mengartikan bahwa pertanyaan Farrel adalah benar adanya.
"Aku bikin kamu sangat sakit, ya?" Tanya Farrel lagi, kini jauh lebih lembut. Dari nada suaranya, terdengar ada sesuatu yang lebih ceria dan segar, namun belum bisa kutebak apa itu.
Aku mengangguk, ragu.
Apakah harus kubagi semua rasaku padanya?
Nuraniku keluar kemudian, menyuarakan suara hati yang lembut dan terasa begitu bijak; untuk yang terakhir kalinya, mengapa tidak?
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR