Bayangkan jika kita, sebagai perempuan, dipaksa jadi objek seks oleh laki-laki di tempat tinggal kita, terutama kepala suku, dan kita enggak bisa menolak.
Atau harus menempuh perjalanan panjang dan medan yang berat untuk ke sekolah, dan ancaman untuk putus sekolah tinggi banget. Begitu juga dengan akses kesehatan yang sulit diraih dan kurangnya pemahaman akan kesehatan yang sangat minim.
Kejadian di atas masih sering terjadi di Indonesia, tepatnya di Papua. Sangat berbeda dengan kehidupan kita di kota besar, dengan fasilitas dan kemudahan yang kita rasakan, teman-teman di Papua, khususnya cewek, punya kehidupan yang sangat kontras.
Berikut 7 cerita memilukan tentang kerasnya kehidupan sebagai perempuan di Papua.
(Klik di sini untuk melihat cerita tragis yang mengharukan karena terlahir sebagai perempuan.)
Bekerja di Ladang
Untuk kehidupan sehari-hari, peran perempuan dalam masyarakat sangat besar. Bukan hanya mengurus rumah tangga, tapi mereka juga bekerja di lading dan beternak babi. Mereka juga mengurus makanan untuk keluarga, termasuk mengambil air di sungai.
Laki-laki memang membantu di lading, tapi hanya membereskan tanahnya saja, karena setelah itu, mereka akan berburu ke dalam hutan.
Pembagian peran ini sudah terjadi sejak lama. Dulu, ada pembagian yang jelas antara perempuan dan laki-laki. Perempuan mengurus urusan rumah tangga dan bekerja di lading sementara laki-laki berburu dan mengurus masalah politik seperti perang dengan suku lain.
Namun, perkembangan zaman membuat peran laki-laki berkurang dan mereka tidak mau mengambil alih pekerjaan perempuan, sehingga pekerjaan perempuan tetap berat.
Akses Kesehatan Terbatas
Keadaan alam Papua memang cukup berat. Jarak antar desa lumayan jauh, dan enggak di semua desa ada rumah sakit. Bukan hal yang mengherankan jika masyarakat Papua harus menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer untuk sampai ke rumah sakit.
Ditambah banyaknya beban pekerjaan sehari-hari membuat akses perempuan terhadap kesehatan jadi makin minim. Sehingga kesehatan perempuan seringnya jadi terabaikan.
Dipaksa Melakukan Hubungan Seksual
Seks bebas di Papua tergolong tinggi. Begitu juga dengan tingkat kematian karena HIV/AIDS yang tergolong tinggi. Hal ini dipicu oleh adat istiadat yang masih dipertahankan sampai sekarang.
Di Papua, seorang kepala suku berhak menyalurkan hasrat seksualnya kepada perempuan mana pun di dalam sukunya. Kalau kepala suku sudah menginginkan seorang perempuan, maka enggk ada yang berani menolak.
Selain itu, kurangnya pengetahuan akan kesehatan seksual membuat banyak yang terkena HIV/AIDS.
Perjalanan Panjang ke Sekolah
Sama seperti rumah sakit, enggak semua desa memiliki sekolah. Sehingga setiap kali mau ke sekolah harus menempuh perjalanan panjang.
Misalnya saja anak-anak dari desa Yahukimo yang harus sekolah ke desa seberang. Mereka menempuh perjalanan panjang, bahkan tanpa alas kaki.
Melihat perjuangan mereka membuat kita harus segera berpikir ulang kalau berniat malas-malasan belajar, nih.
Cewek Banyak yang Putus Sekolah
Angka putus sekolah di Papua tergolong tinggi. Namun, perempuan lebih rentan untuk putus sekolah lebih cepat. Menurut data dari Indonesia Governance Index tahun 2013 lalu. Anak perempuan di Papua lebih cepat 1,5 tahun putus sekolah dibanding anak laki-laki.
Tidak Berperan Dalam Mengambil Keputusan
Dalam pengambulan keputusan, baik dalam tingkat keluarga atau desa, perempuan enggak punya peran apa-apa. Meski perempuan yang bekerja di ladang dan beternak, hasilnya tetap berada di tangan laki-laki.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu budaya patriarki yang dianut masyarakat Papua sehingga semua bidang kehidupan harus terpusat pada kekuasaan laki-laki, serta budaya denda yaitu semua persoalan dalam masyarakat harus diselesaikan dengan membayar denda berupa uang atau babi.
Sehingga, untuk membayar denda ini, perempuan dituntut untuk lebih menghasilkan banyak uang atau babi untuk keluarganya.
Terancam Kurang Gizi
Anak perempuan dan perempuan dewasa di Papua juga terancam kurang gizi. Akibat banyaknya pekerjaan yang harus ditanggung, perempuan Papua memiliki pola makan dua kali sehari saja, karena mereka berada di kebun sepanjang hari.
Di samping itu, juga terjadi diskriminasi gender sehingga pola distribusi makanan antara laki-laki dan perempuan jadi enggak seimbang. Walaupun sebenarnya perempuan butuh makanan lebih banyak karena butuh energi banyak agar bisa menyelesaikan pekerjaannya.
Karena itu, seringkali terjadi perempuan Papua mengalami kekurangan gizi.
(Foto: dok. Film Kembang 6 Rupa, dok. Film Tanah Mama, kompasiana.com)
Penulis | : | Ifnur Hikmah |
Editor | : | Ifnur Hikmah |
KOMENTAR