Aku pernah melakukan percobaan bunuh diri dan bersyukur karena aku gagal melakukannya. Aku masih ingat menelan beberapa pil dari botol sambil berharap bahwa hidupku akan berakhir setelah pil-pil itu masuk ke dalam tubuh.
Namaku Indri*, aku pernah mencoba untuk mengakhiri nyawaku saat aku duduk di bangku SMA kelas dua. Saat itu aku merasa sendirian di dunia dan enggak ada orang yang bisa membantuku. Ini lah perjalananku sebelum dan sesudah melakukan percobaan bunuh diri.
Awal mulanya
Aku tinggal bersama kakak cowok, kakak cewek, ayah, dan ibuku di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Ketika aku kelas 4 SD, tiba-tiba ada seorang wanita enggak dikenal yang datang ke rumahku sambil membawa bayi. Aku pikir dia hanya teman orangtuaku yang akan menginap. Dia dan bayinya tidur di kamar tamu.
Saat itu aku bingung, kenapa sejak wanita dan bayinya itu datang, ibuku jadi sering melamun dan menangis. Enggak lama, akhirnya ibuku bilang kalau wanita enggak dikenal itu adalah istri lain dari ayah alias ibu tiriku. Setelah itu ibuku memutuskan untuk bercerai dari ayah. Dia pun keluar dari rumah dan tinggal bersama eyangku di Bandung.
Ketika aku lulus SMP, ibuku kembali untuk bekerja di Jakarta. Aku dan kakakku tinggal bersamanya sejak kelas satu SMA. Namun, ketika aku kelas dua SMA, ibu berubah jadi enggak peduli sama hidupku dan kakak.
Kita enggak pernah ngobrol dan aku sudah enggak pernah lagi makan masakan rumah. Bahkan pas weekend, dia lebih memilih untuk hangout sama teman-temannya dibanding menghabiskan waktu sama aku dan kakak. Dia cuma memberi uang aja, tanpa peduli sama kita.
Secara mendadak, ibuku bilang kalau bulan depan dia harus pergi ke Singapura karena ada kesempatan kerja di sana. Sebulan kemudian, dia pergi ke Singapura tanpa pamit lagi. Padahal dia belum memberi tahu aku dan kakak tentang pekerjaan barunya, di Singapura bagian mana dia akan bekerja, atau tempat tinggalnya. Aku sama sekali enggak tahu apa-apa.
Aku sudah coba menelepon dan pergi ke kantor lama ibuku untuk mencari informasi. Tapi enggak ada hasilnya karena memang enggak ada yang tahu. Kakakku berkuliah sambil bekerja juga jarang pulang, di rumah aku hanya berdua dengan asisten rumah tangga. Ayahku juga susah banget untuk dihubungi karena dia bekerja di luar negeri. Di situ aku merasa enggak punya siapa-siapa lagi. Aku depresi dan cuma mau menghilang dari dunia.
(Baca juga: Pengakuan Cewek yang Di-bully Sampai Mencoba Bunuh Diri Hingga Tiga Kali. Duh, Sedih Banget!)
Berusaha Mengakhiri Nyawa
Aku minum pil penenang milik ibuku. Ketika itu aku berpikir, kalau pil itu diminum dalam dosis yang banyak, aku pasti akan meninggal. Aku merasa satu-satunya jalan agar orangtuaku bisa kembali peduli pada kakak-kakakku adalah dengan mengorbankan nyawaku. Mereka pasti akan sadar kalau anak-anak mereka tuh butuh kasih sayang saat aku sudah enggak lagi di dunia.
Setelah meminum pil-pil itu, aku mual, muntah-muntah, pusing luar biasa, kemudian pingsan. Asisten rumah tanggaku lah yang membawaku ke rumah sakit. Ketika terbangun, aku sadar kalau usaha bunuh diriku gagal, aku masih hidup. Ayah dan ibu akhirnya pulang ke Jakarta dan menemuiku di rumah sakit sambil menangis. Di sana lah mereka baru merasa menyesal telah menelantarkan anak-anaknya.
Sulit untuk Cerita Pada Orang Lain
Banyak orang yang bilang kalau kita yang punya pikiran atau memutuskan untuk bunuh diri tuh bodoh. Mereka bilang, kenapa enggak curhat sama teman aja? Kenapa berpikir untuk mengakhiri hidup?
Di masa kelam itu, aku pernah berpikir untuk bercerita pada teman dekat, tapi aku mengurungkan niat itu. Aku melihat bahwa mereka tuh punya keluarga yang bahagia dan disayang sama orangtua. Teman-temanku enggak akan bisa mengerti keadaanku. Untuk apa aku bercerita pada mereka?
(Baca juga: 5 Tipe Orang Rentan Melakukan Bunuh Diri)
Klik halaman selanjutnya ya untuk tahu bagaimana kehidupanku setelah ini!
Penulis | : | Intan Aprilia |
Editor | : | Intan Aprilia |
KOMENTAR