CewekBanget.ID - Saat ini isu intoleransi semakin merajalela ya, girls.
Sebagai warga negara yang baik, udah sepantasnya kita juga turut ambil peran dalam permasalahan yang satu ini.
Anak-anak muda di Indonesia udah terkenal banget sering menciptakan sejarah penting bagi bangsa ini, lho!
Seperti pada tahun 1928, pemuda hadir membawa berbagai gagasan yang membawa seluruh masyarakat bumiputera keluar dari keterpurukan.
Baca Juga: Merasa Sahabat Menjauh? Ini 4 Hal yang Harus Kita Lakukan Kalau Merasa Dilupakan Sahabat!
Menurut seorang Indonesianis ternama Benedict Anderson, pemuda-pemudi Indonesia pada saat itu berimajinasi tentang sebuah komunitas besar yang disebut Indonesia.
Dari Kongres Pemuda II di tahun 1928, lahirlah 'Sumpah Pemuda' dan juga lagu Indonesia Raya.
Ini semua berkat imajinasi dan gagasan dari para anak muda kala itu.
Kids Zaman Now
Pada masa revolusi kemerdekaan, istilah pemuda dibedakan dengan anak muda.
Pemuda-pemudi adalah mereka yang berjuang, serta memikirkan dengan serius nasib masyarakat bumiputera.
Sedangkan sebutan anak muda ditujukan untuk seseorang berusia muda tapi enggak memiliki karakter pejuang dan jiwa altruis.
Pada tahun 90-an kita pasti udah enggak asing sama istilah ABG alias Anak Baru Gede, sebuah julukan yang ditujukan untuk para anak muda.
Di era digital saat ini, anak muda dilabel sebagai ‘kids zaman now’ yang sering dikaitkan sama aksiaksi lucu yang viral di media sosial.
Enggak sebatas stereotype, para anak muda kini juga harus berjuang menghadapi arus pasar global yang disebut-sebut memasuki era 4.0.
Pasca-reformasi politik yang diusung mahasiswa pada 1998, enggak bisa dipungkiri generasi muda dibiarkan tumbuh besar tanpa sebuah narasi kepemudaan.
Sebuah narasi yang menempatkan mereka sebagai subyek perubahan bukan sebatas obyek.
Nah akibatnya, arus konservatisme yang sedang 'tren' pun menjadi konsumsi para 'kids zaman now'
Kebinekaan yang diusung oleh pemuda-pemudi masa lampau mengalami sebuah ujian besar.
Generasi muda sebagai penentu tren
Berbagai hasil riset sosial maupun marketing kini menempatkan generasi muda sebagai prioritas utama.
Karena sejak percepatan adopsi media sosial serta smartphone pada tahun 2013, anak muda selalu memiliki peran yang besar banget untuk menentukan sebuah tren.
Secara spesifik, generasi muda penentu tren itu merentang pada usia 17-25 tahun.
Pada rentang usia tersebut, seorang anak muda dapat mengambil aspirasi dari usia yang lebih muda dan juga bisa mempengaruhi usia yang lebih tua.
Tanpa banyak disadari, anak muda tetap menjadi jadi 'aktor utama' dalam laju perubahan.
Laju perubahan tersebut akan semakin menguat ketika Indonesia memasuki masa bonus demografi, yaitu peristiwa demografi di mana usia produktif antara 15 hingga 64 tahun melebihi kelompok usia belia dan lansia.
Bonus demografi diprediksi akan mencapai puncaknya pada tahun 2028 hingga 2035.
Pada masa itu, jumlah penduduk berusia muda akan melimpah.
Kepemimpinan dalam berbagai lini kehidupan pun akan mulai secara perlahan diduduki oleh generasi muda sebagai sebuah konsekuensi demografis.
Maka dari itu, penanaman nilai-nilai serta idealisme di usia muda merupakan investasi penting yang perlu dipikirkan saat ini.
Musik sebagai sarana buat tunjukkan empati
Pada saat konggres Pemuda II, W.R. Supratman masih berusia sekitar 25 tahun.
Dengan empat senar biolanya ia berhasil menyentuh batin para peserta konggres untuk mengesampingkan perbedaan, menyatukan keinginan, serta mengukukuhkan imajinasi akan komunitas baru bernama Indonesia.
Sejalan dengan itu, Ernest Renan seorang filsuf terkemuka dari Perancis mengatakan dalam bukunya Qu’est-ce qu’une nation (apa itu sebuah bangsa), bahwa bangsa baru akan berdiri ketika terdapat keinginan besar untuk hidup bersama, dan ketika seluruh yang terlibat telah berhasil melepaskan berbagai identitas premordial mereka.
Baca Juga: Punya Kebiasaan Minum Teh Setelah Makan? Waspada Bahaya Ini Akan Mengintai Tubuh Kita!
Merenungi kembali kiprah pemuda-pemudi di era revolusi kemerdekaan, kita akan menyadari bahwa para pemuda-pemudi ini telah berhasil untuk melepas segala bentuk fanatisme, etnosentrisme, dan egosentrisme mereka demi Indonesia.
Mereka adalah aktor utama dibalik semangat keberagamaan.
Pop Culture, yang kini menjadi bahasa utama generasi muda dalam berekspresi, juga merupakan sebuah kultur yang merayakan keberagaman.
Musik sebagai bagian dari kultur populer, tetap menjadi medium paling kuat dalam menyuarakan keberagaman.
Berbagai temuan terkini dalam bidang neurosains mendukung hal tersebut, yaitu bahwa musik dapat mengoptimalkan berbagai simpul bagian otak manusia yang berhubungan dengan empati
Aktivisme pemuda-pemudi abad 21
‘Kids zaman now’ telah kembali menjadi pemuda-pemudi sebagaimana pada era revolusi kemerdekaan.
Di luar dugaan, di tengah terpaan konsumerisme dan konservatisme, generasi muda Indonesia kembali menunjukkan sifat filantropis (meluangkan waktu dan tenaga untuk memikirkan permasalahan kemanusiaan).
Hal tersebut kita saksikan bersama-sama ketika generasi muda Indonesia kembali mengekspresikan aktivisme di ruang publik pada September hingga Oktober 2019 untuk mencabut revisi UU KPK.
Generasi muda telah kembali ke akar identitasnya sebagai ‘pemuda-pemudi’.
Mereka tengah meneruskan tongkat estafet imajinasi Indonesia, bahkan mengimajinasikan ulang ke-Indonesia-an kita.
Aktivisme akan menjadi tren baru bagi generasi muda di awal dekade ini. Aktivisme yang berpadu dengan kreativitas dan aktivisme yang lebur dengan musik serta seni pertunjukkan.
Permasalahan intoleransi yang berkembang di tengah masyarakat serta menghantui kebinekaan kita sebenarnya bisa diselesaikan dengan pendekatan terbaik apabila generasi muda diberikan ruang untuk berperan.
Salah satunya melalui musik sebagai medium empati yang paling jitu. Intoleransi enggak tepat dilawan dengan berbagai larangan-larangan yang bersifat baku.
Karena hal tersebut udah enggak sejalan sama nilai kultur populer di abad ke 21 ini.
Jadi, selamat mengambil peran ya, girls! (*)
Baca Juga: Enggak Harus Kebaya, Ini 5 Model Tunik Mewah Buat Dipakai Hijabers Saat Kondangan. Elegan!
Artikel ini ditulis oleh Dr. Muhammad Faisal, Penulis Buku 'Generasi Kembali ke Akar' dan telah tayang di Kompas.com dengan judul: Intoleransi Mengancam, Generasi Muda Bertindak