Studi: Jangan Anggap Enteng, Remaja Juga Bisa Tularkan Virus Corona!

By Salsabila Putri Pertiwi, Senin, 20 Juli 2020 | 12:03 WIB
Cara Jepang #hadapicorona (Foto: Kompas.com)

CewekBanget.ID - Beberapa bulan yang lalu, dikabarkan bahwa virus corona (COVID-19) cenderung lebih rentan menyerang orang dewasa.

Namun hal itu membuat para remaja jadi merasa lebih enteng beraktivitas terutama di tengah new normal sehingga kerap menimbulkan perdebatan.

Ditambah lagi wacana kembalinya kegiatan belajar mengajar aktif di sekolah di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, sekolah pada tingkatan menengah atas yang berada di zona hijau bisa kembali dibuka dengan sejumlah persyaratan.

Sementara, di negara-negara yang relatif sudah mengendalikan laju penyebaran virus corona, seperti Korea Selatan, pro kontra soal kembali beraktivitasnya para siswa di sekolah juga muncul.

Sebenarnya, seberapa besar risiko penularan pada anak-anak dan remaja?

Baca Juga: PSBB DKI Jakarta Diperpanjang (Lagi), Ahli: Pelan-Pelan Naik, Mengkhawatirkan

Pertimbangan Membuka Kembali Sekolah

Melansir New York Times, Sabtu (18/7/2020) dari Kompas.com, penelitian terhadap hampir 65.000 orang di Korea Selatan menunjukkan bahwa pembukaan kembali sekolah akan memicu penyebaran virus corona lebih luas.

Penelitian itu dipimpin oleh Dokter Young Joon Park dan dipublikasikan di laman CDC.

Dalam penelitian itu disebutkan bahwa anak-anak di bawah usia 10 tahun lebih jarang menularkan daripada orang dewasa, meskipun risikonya bukan berarti enggak ada sama sekali.

Sementara itu, anak-anak yang berusia antara 10-19 tahun atau remaja dapat menyebarkan virus seperti orang dewasa.

Para ahli memperingatkan, jika sekolah kembali dibuka, masyarakat akan melihat kelompok infeksi berakar yang mencakup anak-anak dari segala usia.

"Saya khawatir ada perasaan bahwa anak-anak tidak akan terinfeksi atau tidak terinfeksi dengan cara yang sama dengan orang dewasa dan oleh karena itu, mereka hampir seperti populasi yang menggelembung,” kata Ahli Penyakit Penular di University of Minnesota, Michael Osterholm.

Baca Juga: Penting! Gini Caranya Melindungi Diri dari Penyebaran COVID-19 Lewat 'Airborne'

Studi Risiko Penularan pada Anak-Anak

Direktur Harvard Global Health Institute, Dr. Ashish Jha, mengatakan, beberapa penelitian dari Eropa dan Asia memberi kesan bahwa anak kecil lebih kecil kemungkinannya untuk terinfeksi dan menyebarkan virus.

Akan tetapi, sebagian besar penelitian itu dinilai memiliki cakupan yang kecil dan cacat.

Sementara itu, menurut Dr Jha, studi baru di Korea Selatan ini dilakukan dengan sangat hati-hati, sistematis, dan melihat populasi yang sangat besar.

"Ini adalah salah satu studi terbaik yang kami miliki saat ini tentang masalah ini," kata Dr. Jha.

Baca Juga: Menohok! Ini Pesan Dibalik Foto Mayat Terbungkus Plastik Karya Joshua Irwandi yang Sempat Viral

Pakar lain juga memuji skala dan ketelitian analisis penelitian di Korea Selatan yang mengidentifikasi 5.706 orang itu.

Mereka adalah orang pertama yang melaporkan gejala COVID-19 di rumah antara 20 Januari hingga 27 Maret 2020, atau selama rentang waktu ketika sekolah ditutup.

Selanjutnya, peneliti melacak 59.073 kontak 'kasus indeks' ini dan menguji semua kontak rumah tangga dari setiap pasien, terlepas dari gejala, tetapi hanya menguji kontak simptomatik di luar rumah tangga dengan pendekatan yang masuk akal menurut para ahli.

"Itu juga dari tempat dengan pelacakan kontak yang hebat, dilakukan pada saat intervensi sedang dilakukan," kata seorang ahli epidemiologi di Harvard TH Chan School of Public Health, Bill Hanage.

Hasil Uji Penularan pada Anak-Anak

Hasil penelitian di Korea Selatan itu pun konsisten dengan penelitian lain, dengan asumsi karena anak-anak umumnya mengembuskan lebih sedikit udara, mengingat udara sarat virus.

Bisa juga karena mereka mengembuskan udara lebih dekat ke tanah sehingga kecil kemungkinan orang dewasa menghirupnya.

Pada penelitian itu, peneliti juga mengingatkan jumlah infeksi oleh anak-anak bisa meningkat ketika sekolah kembali dibuka.

Kelemahan dari penelitian itu adalah, para peneliti hanya melacak kontak anak-anak yang merasa sakit.

Oleh karena itu, masih belum jelas seberapa efisien anak-anak tanpa gejala menyebarkan virus corona.

(*)