Bukan Salah Korban, Yuk Segera Akhiri Budaya Victim Blaming!

By Salsabila Putri Pertiwi, Kamis, 11 Maret 2021 | 15:50 WIB
Drama 'School 2017' (foto : KBS)

CewekBanget.ID - Enggak asing rasanya, mendengar celetukan seperti, "Pasti pulangnya malam ya?" atau, "Makanya, cewek jangan pakai baju terbuka," di tengah perbincangan soal kekerasan dan pelecehan seksual.

Padahal kedua faktor tersebut, termasuk faktor-faktor lainnya, sama sekali bukan penyebab terjadinya kekerasan seksual.

Fyi, asumsi seperti itu dan anggapan bahwa korban 'memancing' pelaku sehingga ia menyerang korban, disebut juga sebagai victim blaming.

Yuk, ketahui apa itu victim blaming dan kenapa hal tersebut mesti dihentikan!

Baca Juga: Cerita Pengalaman di-Catcall, Cinta Laura: Stand Up for Yourself!

Victim Blaming

Dilansir dari artikel Harvard Law School (HALT) berjudul 'How to Avoid Victim Blaming', yang dimaksud dengan victim blaming adalah perilaku yang menunjukkan bahwa korban bertanggungjawab atas kekerasan yang dialaminya, alih-alih pelaku.

Victim blaming terjadi ketika orang-orang menduga kalau seseorang melakukan sesuatu untuk 'memancing' terjadinya kekerasan, entah dari tindakan, kata-kata, maupun pakaiannya.

Biasanya victim blaming dilakukan orang yang percaya bahwa seseorang menyebabkan dirinya sendiri tertimpa musibah, demi menjaga mindset kalau dunia sebetulnya aman-aman saja bagi mereka.

Tapi perilaku seperti inilah yang kerap membuat korban dan penyintas kekerasan seksual atau domestik jadi diam dan takut untuk melaporkan penyerangan terhadap diri mereka.

 

Kekerasan Seksual Enggak Dianggap Serius

Ilustrasi pelecehan seksual

Sayangnya, perilaku victim blaming masih sering banget dilakukan masyarakat bahkan di tingkat keluarga sekalipun, entah sadar maupun enggak sadar.

Victim blaming menunjukkan bahwa kekerasan seksual dan domestik, termasuk pelecehan seksual, masih belum dianggap serius; selain itu korban, yang biasanya merupakan perempuan, adalah pihak yang salah karena 'memancing' tindak kekerasan dari pelaku.

Victim blaming seakan membenarkan dan menganggap normal tindak kekerasan, serta melanggengkan budaya pemerkosaan (rape culture) di lingkungan sosial.

Baca Juga: 5D Cegah Pelecehan Seksual di Ruang Publik. Stop Jadi Bystander Pasif!

Stop Victim Blaming!

Sudah waktunya kita menghentikan kebiasaan victim blaming nih, girls!

Ingat, yang paling utama adalah kesadaran dan edukasi lebih terkait victim blaming dan kenapa hal tersebut enggak boleh dilakukan.

Fokuslah terhadap hal penting ketika mendengar atau menghadapi peristiwa enggak menyenangkan yang menimpa diri sendiri atau orang lain, misalnya keamanan dan keselamatan korban.

Selain itu, kadang kita juga lupa kalau membuka diri dan berbagi tentang kejadian traumatis yang dialami enggak selalu mudah bagi korban, makanya banyak dari mereka yang baru berani speak up setelah beberapa lama.

Dengarkan baik-baik ketika korban atau penyintas akhirnya membagikan pengalaman mereka, hargai upaya mereka untuk menyampaikan hal itu, dan beri waktu jika mereka masih belum bisa menceritakan peristiwa yang mereka alami kepada siapapun.

Pastikan juga korban atau penyintas paham dengan berbagai aturan hukum yang berkaitan jika perlu dan hak-hak mereka sudah terpenuhi.

Lalu jangan sampai kita langsung mengaitkan kejadian yang dialami korban dengan emosi pribadi kita sendiri, ya. Sebelum menghakimi siapapun, baik pelaku maupun korban, kita harus berpikir jernih dan menggunakan logika serta merangkum informasi dari berbagai sisi.

Lagi-lagi hal tersebut harus dengan tetap memprioritaskan hak-hak korban dan menyadari bahwa sebagai korban, mereka enggak bersalah.

Yuk, lebih berempati terhadap korban kekerasan dan jangan asal menghakimi.

 

(*)