CewekBanget.ID - Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi baru saja mengeluarkan peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Peraturan ini juga dilandasi dari berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup pendidikan, terutama perguruan tinggi.
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim, menjadikan peraturan ini sebagi respon kegelisahan mahasiswa.
Baca Juga: Rencana Sekolah Tatap Muka Kemungkinan Batal? Begini Penjelasan Nadiem Makarim!
Tujuan peraturan dibuat
Banyak pihak yang mengapresiasi perilisan Permen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ini.
Walau enggak sedikit juga pihak yang masih menentang, dan meragukan berbagai pasal di dalamnya.
Meski begitu, kalau menilik lebih jauh dari tujuan pembentukan peraturan ini, sebenarnya lebih menekankan pada perindungan para korban kekerasan.
Baca Juga: Penyintas Kekerasan Seksual, Shenina Cinnamon 'Melawan' Lewat Film!
Data survei yang dilakukan Kemendikbud tahun 2020, dilansir dari BBC ada sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.
Akan tetapi 63% di antaranya enggak melaporkan itu, karena khawatir pada stigma negatif.
Padahal dari komnas perlindungan perempuan sendiri, ada 27% pengaduan kekerasan seksual yang datang dari lingkup kampus.
Ini artinya, Indonesia benar-benar dalam situasi bahaya untuk urusan kasus kekerasan seksual di lingkup pendidikan.
Menekankan soal consent
Kini peraturan Nomor 30 Tahun 2021 dinilai jadi angin segar untuk perubahan Indonesia yang lebih baik.
Terutama karena bagian Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual itu mengarah ke pembahasan consent (persetujuan).
Secara garis besar, consent menjadi landasan dari persetujuan pasangan atau lawan jenis untuk berinteraksi dan kontak langsung.
Sehingga, masyarakat khususnya di lingkungan kampus ini perlu benar-benar paham gimana penerapan consent dalam interaksi hubungan.
“Bahkan sangat spesifik ada pasal yang menyebutkan bahwa definisi kekerasan seksual itu adalah ketiadaan consent atau ketiadaan persetujuan dari kedua belah pihak,” kata Pegiat hak asasi manusia (HAM), Nisrina Nadhifah (27) dilansir dari Kompas.com.
Baca Juga: Cewek Alami Kekerasan Seksual di Kantor, Simpan Barang Bukti Tapi Jangan Disebar!
Betuk kekerasan seksual
Ketentuan yang membahas consent diatur dalam Pasal 5 Permendikbud Ristek 30/2021.
Kalau korban enggak memberikan persetujuan, maka suatu tindakan itu dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Kategori kekerasan seksual bisa dimaksudkan untuk menyebut kekerasan secara sentuhan (fisik), visual seperti memperlihatkan alat kelamin pada lawan jenis, merekam gambar atau audio, menyebarkan gambar atau audio pribadi dan lainnya.
(*)