"Hei kemana saja kamu? Sudah empat hari aku tidak menemukanmu di Transjakarta yang biasa kunaiki. Sudah naik pangkatkah dirimu sekarang hingga tak lagi menunggangi Transjakarta?Jujur aku rindu dengan parasmu...... Namun, tidak bertemu denganmu seperti ini rasanya lebih baik. Setidaknya otak dan hatiku tidak lagi meraba hal yang abstrak!"
Ungkapan terakhir yang aku ketik di dalam hatiku merupakan rasa lelah sekaligus rasa rindu yang terpupuk sendiri tanpa sengaja. Sebenarnya ini adalah ungkapan paling jujur yang aku rasakan. Itu adalah isi dari keseriusan yang semoga didengarkan oleh otakku yang secara perlahan akan sadar dan menghentikan kegiatannya untuk terus menerus membuat deskripsi tentang cowok yang kusebut pangeran Transjakarta itu.
Sudah empat hari aku tidak menemukannya. Selama itukah waktu yang digunakannya untuk berlibur? Ataukah selama ini ia tahu bahwa aku selalu memperhatikannya? Karena ketidakhadirannya hari ini dan tiga hari sebelumnya adalah semiotik bahwa sebenarnya dia sadar aku selalu memandanginya dan diam-diam mengaguminya. Aku memakluminya karena bentuk ketidakhadiran ini adalah ucapan bisu yang mampu diutarakannya. Bentuk ini memang paling ampuh untuk memperlihatkan realita bahwa aku percuma merasakan perasaan seperti ini.
Sejujurnya aku berharap dia tidak melakukan hal ini. Seharusnya ada ungkapan terakhir sebelum dirinya benar-benar pergi dan tak kembali. Namun, bila harapan yang satu ini terkatakan dengan baik, aku justru semakin tidak rela untuk membiarkannya melepas realita untuk dilihat otak dan hatiku. Kini aku memang terpenjara. Dalam raut kesedihan penuh kenyataan pahit, aku bersikap memang seharusnya tak mengharap apa-apa. Ya, mulai hari ini aku harus terbiasa tak melihatnya.