"Memangnya ada PR?" Briliantina bertanya dengan santainya setelah ia meletakkan tas sandangnya di atas meja.
Gendis mengangguk sekenanya. Ia tadi hanya sekadar bertanya untuk memastikan saja.
"Masa kamu lupa? Pak Mandala, kan, memang ngasih tugas PR ke kita lusa kemarin?"
Dan bumi pun gonjang-ganjing bagi Briliantina. Bak baru tersadar dari amnesia tingkat dewa, ia pun terlihat kocak karena dilanda kepanikan yang membabi-buta.
"Aduh...yang bener lo, Dis? PR fisika? Lo enggak bohong, kan? Kok kalian enggak ngasih tau gue, sih?"
Gendis mendengus napas sebentar sebelum pada akhirnya mengambil buku PR fisikanya yang terletak di laci meja lalu menyodorkannya pada Briliantina.
"Waktu kamu enggak banyak, kamu harus bergerak cepet, lho," ujar Gendis yang disambut Briliantina dengan tatapan haru-yang cenderung hiperbola-ke arah sahabatnya yang 'terbaru' itu.
"Lo emang dikirim Tuhan buat jadi malaikat gue pagi ini, Dis...."
Briliantina pun mulai menyalin jawaban PR fisika Gendis secepat yang ia mampu. Untung saja, ada persediaan buku kosong yang selalu ia bawa dalam tasnya sehingga enggak perlu repot-repot membeli buku kosong lagi ke warung perlengkapan alat-alat kebutuhan siswa yang ruangannya dekat dengan kantor dewan guru.
**
Ketika istirahat tiba, Briliantina melancarkan sebuah aksi, lebih tepatnya aksi tutup mulut. Tiga sahabatnya Mei, Karin juga Gendis saling melempar pandang. Aksi Briliantina itu sukses membuat mereka-terutama Mei dan Karin-mengurungkan niat menyambangi kantin. Padahal kalau boleh jujur, Mei yang bertubuh subur itu sudah lapar banget mengingat tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah ia enggak sempat sarapan karena telat bangun.
"Sekarang apalagi?" si bijak Karin membuka suara. Yang dimaksudnya tentu saja Briliantina. "Mending ngomong deh, Li, daripada lo ngediemin kita kayak gini. Enggak jelas. Kalo kita ada salah, bilang aja. Biar clear masalahnya."