Empat Hari Bersama Senja

By Astri Soeparyono, Minggu, 20 Oktober 2013 | 16:00 WIB
Empat Hari Bersama Senja (Astri Soeparyono)

Suara ombak mulai terdengar. Kupercepat langkah kakiku untuk bisa sampai ke sana. Napasku sedikit tersengal dan bau air laut mulai merasuki tenggorokanku yang kering. Warna air laut itu tak jernih, bukan karena efek matahari sore. Pasirnya juga tidak secokelat tanah, tapi menyatu dengan warna matahari sore. Menghantarkan hangat matahari sore ke telapak kakiku. Tiba-tiba pandanganku kabur. Air mata tak lagi terbendung. Menggila keluar dari kelopak mataku, jatuh, dan bercampur bersama miliyaran liter air asin lainnya. Sontak aku menutupi mukaku, kemudian terduduk, mencoba menyatu dengan milyaran pasir.

            Segala rasa lelah dan penyesalan mulai menguap dari diriku. Rasanya sedikit bebanku sudah terbawa ombak menuju laut lepas. Deburan ombak berdesir di dalam nadiku. Pertanda kami sudah sejiwa mungkin. Aku baru menyadari keberadaan seseorang di sampingku. Entah sudah berapa lama ia berada di sana. Berlalut dress selutut berwarna abu-abu. Rambutnya panjang dengan poni rata menutupi dahinya. Tangan kanannya menahan topi rajut yang ia pakai dengan pembawaan cantik dan anggun. Gaya berpakaiannya berbeda 180 derajat denganku yang lebih suka memakai celana pendek dan kaus oblong.

            Perempuan itu kini menatapku dan tersenyum simpul. Senyumnya seperti menyapaku. Ia pun mengulurkan tangan kanannya. Saat aku membalasnya, senyumnya melebar, menunjukkan giginya yang tersusun rapi. Saat kupikir ia akan menyebutkan namanya, ia malah menuliskan sesuatu di pasir. 'Senja' tulisnya. Alisku mengekrut, apa maksudnya? Merasa mendapat ilham, aku tersadarkan. Ia sedang menuliskan namanya. Aku pun menulis namaku di pasir juga. 'Akemi' tulisku. Senja itu tersenyum. Mungkin pemikiran kita sama. Akemi dalam bahasa Jepang juga berarti senja.

            Kami memandang seperlima bagian matahari yang lambat laun menghilang di balik laut. Pernahkah kau merasa, kau bisa mengetahui pikiran orang tersebut tanpa berbicara dengannya. Rasanya seperti kalian dilahirkan dan hidup bersama sepanjang umur kalian. Menakjubkan tapi sekaligus menakutkan. Apalagi dalam konteks, kau dan orang itu tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi seperti itulah aku dan Senja pada waktu itu. Sisa waktuku sebelum pulang dihabiskan dengan diam dan mencoba menerka pikirannya. Hasilnya, aku merasa bernostalgia. Tak ada yang mencoba berbicara. Yang ada hanyalah kenyamanan.

            Aku mulai menapaki halaman depan rumahku. Seperti maling, aku membuka pintu perlahan. Tentu saja itu rumahku. Tapi aku malas jika manusia itu menyadari kehadiranku. Membuat aku harus berhadapan dengannya. Setelah kemarin kami bertengkar, aku tidak ingin berbicara lagi dengannya. Satu hal yang mungkin belum aku paham. Aku kira dia akan menjauhiku tapi aku malah mendapatinya berdiri di ambang pintu kamarku. Laganya mengatakan 'ayo kita selesaikan masalah kemarin.' Tapi aku tidak berniat. Tolong pakailah otakmu sebagaimana mestinya, batinku. Tapi ayah dan ibu meminta aku memaafkannya setelah ia memukulku saat orang normal tahu aku tidak bersalah. Kupikir ia sudah dewasa mengingat ia adalah kakak perempuanku. Seharusnya ia lebih mengerti. Tapi ia spesial. Sikapnya yang kekanakan dan caranya bertutur kata tidak sesuai dengan umurnya. Hal itu membuat dia menyebalkan.

***

            Sore itu tak ada tangis, tetapi aku pergi lagi menuju pantai. Hanya dengan sepeda, pantai yang berjarak tidak sampai 100 meter dari rumahku dapat ditempuh selama 15 menit. Jalanan ke sana terbuat dari aspal yang sudah bolong di beberapa titik akibat air hujan. Pantai itu belum terlalu terkenal dan orang berkunjung sebab mereka tinggal di sekitar pantai itu. Tak banyak restoran atau penginapan di sekitar sini. Kebanyakan orang hanya datang karena ingin kembali menyatu dengan alam setelah hampir 12 jam berkutat dengan aktivitas masing-masing. Melepas penat dengan mendengarkan deburan ombak sangatlah menyenangkan.

Sore itu pantai tidak terlalu ramai seperti biasanya. Hanya ada seorang kakek memancing di pinggir pantai. Ada juga kumpulan remaja sebayaku berkumpul di daerah berbatu. Aku berjalan menjauh dari kakek dan kumpulan remaja itu. Sejenak membiarkan ombak membasahi telapak kakiku. Airnya lebih hangat sementara angin bertiup dengan kecepatan yang sama dengan kemarin.

            Makin menyeramkan, kini bahkan aku sudah bisa merasakan kedatangan Senja. Senyumnya tak berubah, masih dengan derajat yang sama. Tetapi hari ini ia memakai kaus dan celana pendek. Gayanya lebih santai, tetapi tetap ditampilkannya dengan cara yang anggun. Makin lama aku tidak tahan. Setiap kami bertemu pandang, aku seperti mendengar suaranya dan kami berkomunikasi dalam bentuk yang orang lain tidak ketahui. Menyeramkan bukan? Aku pun memberanikan diri membuka suara. Senja harus memberi penjelasan. Setidaknya berbicara layaknya manusia lainnya. Sebetulnya aku juga tidak tahu ingin berbicara apa. Karena rasanya ia sudah mengenalku luar dalam.

"Oh iya. Aku tidak punya darah Jepang, tetapi ayahku menamai aku Akemi," kataku kehabisan topik. Padahal sedari tadi kami belum membuka mulut bahkan saling bertukar sapa.

Senja menatapku dan menggangguk. Pandangannya berkata "Aku sudah tahu." Semakin horor saja rasanya. Namun ada sebersit perasaan senang yang dibungkus rasa tidak percaya. Tiba-tiba aku mendengar suara. Suara lembut itu berbisik. Senja tidak bisa berbicara tapi ia mendengarmu dan tahu masalahmu. Selanjutnya angin membawa suara itu pergi. Aku menatap Senja tak percaya. Tapi pandangannya sekali lagi berbicara. Seakan bilang, apa pun yang kau dengar, itulah suaraku, dalam imajinasimu. Apa-apaan ini?

Senja ke-tiga bersama Senja. Seperti biasa, kami berdua diam. Tidak ada yang berbicara. Tapi hari ini kami merasa kami sudah bercerita banyak bahkan sampai tertawa bersama. Kami bercerita lewat hati dan mengerti lewat pandangan. Senja adalah sahabatku sekarang. Kurasa kami disatukan oleh senja juga karena senja. Ya. Nama kami sama-sama berarti senja, bukan?