Empat Hari Bersama Senja

By Astri Soeparyono, Minggu, 20 Oktober 2013 | 16:00 WIB
Empat Hari Bersama Senja (Astri Soeparyono)

            Senja ke-empat bersama Senja. Kali ini aku bercerita. Aku mengeluarkan suara. Bercerita tentang masalahku yang katanya sudah ia ketahui. Aku mempunyai seorang kakak. Ia bukan penyandang cerebral palsy ataupun tunagrahita, kakak perempuanku mempunyai penyakit schizofrenia. Kakakku tidak bisa menahan emosi, cara berpikirnya tidak sedewasa orang seumurannya dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Tetapi ia sebuah kasus yang berbeda. Saat keinginannya tidak dipenuhi kedua orangtuaku, ia akan marah dan merusak seisi rumah. Terkadang bahkan ia meluapkan emosinya dengan memukul orangtuaku dan bahkan aku sendiri. Aku tidak jarang bertengkar dengan kakakku karena sikap semaunya sendiri itu. Aku pun kadang tega menghinanya. Aku tidak menerima kondisi dia. Sialnya, sikapku itu membuat orangtuaku terkena amukannya. 

Terkadang aku merasa aku mengerti perasaannya. Ia berusaha mengerti keadaannya. Ia tidak berpikir secerdas yang lain. Ia merasa dirinya tidak disayangi oleh keluarganya. Ralat, hanya aku yang tidak menyayanginya dan dia bisa merasakannya. Aku hanya ingin tahu satu cara. Cara untuk dapat menerimanya secara penuh. Sementara aku sudah berdoa kepada Dia di atas sana bahwa aku sudah bersyukur atas segala yang telah ia berikan. Tapi rasa benci itu tetap ada.

Sekali lagi, di senja ke-empat, aku menangis. Senja kali ini lebih anggun dari biasanya. Warna oranye dan ungu berlomba mendominasi langit biru yang juga berusaha mengeluarkan warnanya sendiri. Semua tercampur aduk sama seperti perasaanku. Lega, kekecewaan, kekesalan, dan kebersamaan. Ada Senja di situ. Dia setia mendengarkan bahkan tidak mencoba memberi nasihat. Mungkin posisi dia sama seperti kakakku. Di balik senja yang mulai meredup, Senja tersenyum dengan derajat yang berbeda. Derajat tanda memahami. Mulailah dengan mengerti kemudian memaklumi dan memaafkan. Begitu kata Senja.

            Malam itu aku pulang dengan perasaan lebih tenang. Kakakku sedang duduk di ruang tengah. Ia menyapaku seakan kami tidak pernah saling melemparkan granat. Aku tersenyum simpul. Masih canggung untuk berhadapan dengan calon mantan musuh. Tapi sapaan yang dilontarkannya, tidak mengandung nada rival bahkan musuh. Sapaannya sesederhana seorang kakak kepada adiknya. Aku mulai mengerti.

Aku tidak pernah menyangka kemarin adalah senja terakhir bersama Senja. Hari itu aku tidak bertemu dengannya. Aku berdiri menghadap laut sambil bersenandung. Pasirnya tetap hangat dan anginnya sedikit lembab. Tanda musim panas segera berakhir. Batu besar itu tak lagi diduduki sekumpulan remaja. Pancingan si kakek tak lagi menunggu umpannya dimakan. Senja itu aku habiskan sendiri. Aku tidak bisa merasakan firasat Senja akan datang. Senja memang datang, tapi bukan senja yang berkomunikasi lewat hati dan mengerti lewat pandangan. Suasana yang berbeda karena tidak ada Senja.

Empat hari menghabiskan senja bersama Senja. Saat orang-orang berlomba menyuarakan pendapatnya di tengah era demokrasi, berteriak meminta gaji mereka dinaikkan dan hak mereka dipenuhi, Senja hanya mendengarkan lalu memahami. Orang-orang itu hanya meminta hak dan melupakan kewajiban yang sangat sulit dilakukan yaitu mendengarkan. Tetapi Senja hanya melakukan kewajiban. Ia tidak mampu untuk berteriak padahal ia punya hak untuk didengarkan juga.

Saat teman-teman sebaya kami membicarakan fisik mereka yang kurang di sana-sini, idola yang cantik dan tampan, keinginan mereka, dan kejelekan orang lain, Senja hanya berdiam diri. Ia juga ingin masuk ke dalam lingkungan itu walaupun ia tahu, terkadang itu hanya akan menyakiti perasaannya sendiri. Ia tidak bisa berbicara dan hal itu membuat ia sering dilupakan. Sering dianggap tak ada. Andai aku sempat memberitahunya, bahwa dalam kesunyian sekalipun, bagiku ia ada.

***

"Senja yang satu ini berwarna tegas. Ia mengubah warna langit senja menjadi ungu. Ia mendengarkan keheninganku. Tidak seperti orang lain yang menganggapku debu di sudut ruangan. Dia senja bernama Akemi. Kami berdua adalah senja yang melengkapi kekurangan kami dalam menjalani peran. Akemi sebagai 'yang menerima' dan aku Senja sebagai 'yang harus diterima'. Di mana pun kami, bersama atau tidak, kami tetap berkomunikasi. Langit senjalah yang menyampaikan pesan kami."

(Oleh: Zanya Nai Rana, foto: weheartit)