Bandul Helai Semanggi

By Astri Soeparyono, Sabtu, 31 Agustus 2013 | 16:00 WIB
Bandul Helai Semanggi (Astri Soeparyono)

            "Pemenang pertama?" dia melirik penyangga pialaku yang belum terlepas sepenuhnya dari tangannya, sebelum mengembalikan benda itu padaku.

            Aku mengangguk. Ketika dia membelai pipiku, aku seolah terhipnotis. Aku tak dapat lagi mendengar ucapannya hingga akhirnya dia memakaikan sebuah kalung berbandul bulat bening di leherku, di dalamnya terdapat setangkai mungil daun semanggi berhelai empat.

            "Ini untuk semua harapanmu, Adik manis," ucapnya sebelum mengecup keningku.

            Ah, siapakah dia? Mengapa dia begitu baik? Dan...aku tak tahu apa yang terjadi padaku setelahnya. Jiwaku seperti tertawan sebagian di dalam kalung pemberiannya. Setiap mataku terpejam, aku mulai menemukan bayangan-bayangan yang sebelumnya tak pernah kutahu. Pikiran, dan masa lalu, milik orang lain.

            Aku tersentak, sadar dari kenangan yang kuputar sendiri. Namaku dipanggil berkali-kali oleh seorang MC pria yang berdiri menunggu kehadiran aku dan Gisella.

            Langkahku pelan menaiki anak tangga pendek menuju ke atas panggung. Di sana, Gisella telah bersiap dengan posisi kuda-kudanya sembari memberi hormat kepada tiga orang juri yang duduk di bangku terdepan. Belum lagi, pandangan mata para penonton yang menghujani kami berdua...termasuk penonton yang berdiri di lantai teratas mall ini, menunggu kami menarikan tarian Bajidor Kahot, seperti yang telah diberitahukan oleh MC sebelumnya.

            Kulukis senyum di wajahku untuk para penonton. Sempat kupejamkan mataku ketika musik pengiring mengalun, membahana di lantai basement Botani Square.

            Kubalas lirikan sinis Gisella dengan gerakan cepat tangan kananku yang memindahkan kipas berenda merah muda pudar ke tangan kiriku. Saat badan kami membelakangi penonton sesaat, kutarik ujung selendangku kuat, hingga ujungnya yang lebih panjang berpindah dari kiri ke sebelah kanan.

            Kudapati pandangan terkejut Teh Dewi, pelatih tariku, dari samping panggung saat dia melihat jelas apa yang baru saja kulakukan. Matanya bertanya, 'apa yang aku lakukan?' dan air mukanya terlihat tak tenang.

            Aku berputar-putar berlawanan arah dengan Gisella. Kubiarkan dia tetap menari dengan tenangnya, sementara tubuhku serasa bergerak dengan sendirinya, mengimbangi langah-langkah kecil Gisella yang berjinjit saat berputar sambil memainkan kipasnya. Setiap langkahnya menguasai panggung sebelah kanan, tubuhku tertarik ke sebelah kiri panggung.

            "Elena!" pekik tertahan Teh Dewi yang samar kudengar ketika kipas yang kuputar-putar dengan gerakan cepat, hampir saja terjatuh oleh tangan kiriku yang tak seluwes tangan kananku.

            Suara tepukan tangan penonton riuh terdengar ketika aku dan Gisella melakukan putaran terakhir. Tangan kiriku mempermainkan kipasku sembari menutup dan membukanya dengan cepat. Sementara tangan kananku cepat mengapit ujung selendang sebelum memberi hormat pada tiga orang juri yang tak pernah melepaskan tatapannya dari kami.