Putri Tidur Dan Pangeran Rumus

By Astri Soeparyono, Sabtu, 24 Agustus 2013 | 16:00 WIB
Putri Tidur Dan Pangeran Rumus (Astri Soeparyono)

"Rayya...." Ivany berbisik pada gadis yang duduk di sebelahnya. "Bangun! Nanti dimarahin Bu Sinta, loh!"

Gadis yang bernama Rayya itu pun membuka mata perlahan. Untuk yang kesekian kali dia tidur pada saat jam pelajaran. Beruntung aksi tidurnya kali ini segera dihentikan oleh Ivany, teman sebangkunya, sehingga dia selamat dari amarah Bu Sinta yang terkenal killer itu.

"Makasih, Van, udah bangunin aku. He-he...." ucap Rayya.

"Dasar Putri Tidur! Tadi malem habis nulis cerpen lagi sampe larut?" tanya Ivany.

"Iya, Van. Nanggung soalnya."

"Ampun, deh, ini anak! Tapi enggak perlu ngorbanin sekolah, dong. Isirahat itu penting. Kamu, tuh, udah sering dapet hukuman gara-gara tidur di kelas."

"Yah, habis gimana lagi, Van...."

"Rayya! Ivany! Sudah selesai ngobrolnya? Kalau belum silahkan ngobrol di luar kelas, jangan mengganggu teman kalian yang ingin belajar serius di kelas ini," suara Bu Sinta tiba-tiba menggelegar di ruang kelas. Skak mat bagi Rayya dan Ivany.

***

Rayya sebenarnya tidak suka dipanggil Putri Tidur. Tetapi apa daya, Rayya memang sering tidur di kelas. Penyebab kebiasaan tidurnya ini karena dia sering tidur larut malam. Entah karena menonton film, menyelesaikan cerpennya atau membuat kerajinan dari rajutan yang dia jual pada teman-temannya. Mengerjakan PR atau belajar tidak menjadi alasan kenapa dia tidur larut malam. Singkat saja, Rayya malas belajar.

Alasan lain kenapa Rayya tidak menyukai julukan Putri Tidur adalah karena julukan tersebut terlalu kontras dengan julukan yang diberikan teman-teman kepada kekasihnya, Gandhi, Si Pangeran Rumus. Putri Tidur dan Pangeran Rumus. Putri Tidur bukanlah putri pada kisah Sleeping Beauty, Putri Tidur ini adalah cewek yang malas, kerjaannya hanya tidur. Sedangkan Pangeran Rumus, cowok yang cerdas, segala rumus mata pelajaran dia tahu.

"Ya, udah ngerjain PR Fisika?" tanya Ivany.

Rayya menggeleng pelan. "Males."

"Apa, sih, yang bikin kamu enggak males selain nulis, film dan ngerajut?"

Rayya hanya nyengir mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Memang kamu udah ngerjain?" tanya Rayya.

"Belum, makanya aku tanya kamu. Kalo kamu udah, kan, aku mau nyontek. Eh, ternyata kamu juga belum ngerjain. Ya udah deh, aku mau nyontek Gandhi aja."

"Dasar!"

"Biarin! Eh, kamu enggak nyontek Gandhi? Pasti dibolehin, kamu, kan, pacarnya." goda Ivany sambil menyolek bahu Rayya.

"Apaan sih! Malu, ah, nyontek pacar sendiri. Mending nyontek yang lain aja."

"Huuu, dasar! Tapi kenapa kamu enggak ngerjain PR bareng dia aja, sih. Belajar bareng gitu, pasti asyik dan yang pasti so sweet. Hi-hi...."

"Enggak ah, kasian dianya kalo ngajarin aku yang lola gini. Lagian Gandhi kan sibuk, Van. Persiapan lomba ini itu. Debat, karya ilmiah, siswa teladan, terus apa lagi itulah aku enggak tau."

"Oooh, jadi kesepian nih ceritanya...." goda Ivany lagi.

"Apaan, sih!"

"Gandhi! Rayya kasian, nih, ditinggal kamu ikut lomba. Besok dia diajakin, ya." teriak Ivany pada Gandhi yang duduk di bangku paling depan. Gandhi hanya menoleh dan tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Rayya hanya melotot dan berpura-pura marah pada sahabatnya itu.

***

Hasil ulangan bab kedua fisika dibagikan. Rayya hanya bisa meremas kertas ulangannya. Angka 65 terpampang di atasnya. Dia harus mengikuti remedial lagi kali ini. Well, sebenarnya hasil itu peningkatan dibanding ulangan bab pertama kemarin. Ulangan bab pertama dia hanya mendapat 50. Lalu tak sengaja matanya bertatapan dengan Gandhi. Cowok itu tersenyum. Pasti nilainya sempurna lagi, batin Rayya.

"Nilai ulangan tertinggi di kelas ini dan juga di seluruh kelas XI IPA diraih oleh Gandhi dengan nilai sempurna. Beri selamat pada teman kalian satu ini." Pak Didit berujar di depan kelas, wajahnya sumringah menatap Gandhi. Teman-teman bertepuk tangan. "Oh ya, Rayya bagaimana kabar nilainya? Remedialkah?" pandangan Pak Didit lalu tertuju pada Rayya.

"I...ya, Pak," Rayya berujar pelan. Dia tahu betul apa yang akan Pak Didit ucapkan setelah ini.

"Kamu harus belajar lebih giat lagi, Rayya. Kalau bisa belajar dengan Gandhi, dia pacar kamu, kan? Jangan sungkan minta dajarin. Jangan suka tidur di kelas juga, ya." Sontak, teman-teman satu kelas tertawa. Suasana menjadi riuh.

Crap! Rayya benci bagian ini. Saat para guru selalu menyuruhnya untuk belajar bersama Gandhi. Kenapa teman-teman kelasnya tidak bisa jaga rahasia, sampai-sampai semua guru yang mengajarnya tahu hubungannya dengan Gandhi. Seolah-olah Rayya terlihat begitu bodoh. Seolah-olah Gandhi  sangat tidak beruntung memperoleh pacar seperti Rayya.

***

Rayya tidak tahan lagi. Dia benar-benar harus mengakhiri hubungannya dengan Gandhi. dengan begitu, dia bisa terbebas dari pertanyaan teman-temannya. "Kok kamu bisa, sih, pacaran sama Gandhi?" Dia juga bisa membebaskan Gandhi dari pertanyaan yang sama. Dia juga bisa membuat Gandhi tidak dicerca oleh guru karena berpacaran dengannya. Yang terpenting, Gandhi bisa lebih fokus dengan  urusan sekolah jika tidak menjalin hubungan dengannya.

Rayya ingat betul, demi mempersiapkan kejutan ulang tahunnya, Gandhi rela tidak mengikuti bimbingan karya ilmah. Rayya juga ingat Gandhi menunda membeli kamus digital karena ia membelikan Rayya satu paket tetralogi The Lord Of The Rings. Rayya masih ingat aksi kaburnya bersama Gandhi dari kursus bahasa Korea mereka karena ajakannya. Dan juga ingat tabungan mereka berdua pada celengan ayam yang nantinya akan digunakan untuk berlibur ke Yogyakarta bersama. Satu tahun bukanlah waktu yang singkat. Terlalu banyak kenangan yang telah mereka ciptakan. Namun, demi kebaikan mereka berdua pula, Rayya harus mengakhiri hubungannya dengan Gandhi. Dengan hati-hati dia mencari nomor kontak Gandhi di handphone, yah dia tahu putus lewat telepon bukanlah hal yang baik. Tetapi dia tidak tega jika harus berbicara langsung dengan Gandhi. Lebih tepatnya, Rayya tidak sanggup.

Telepon tersambung, suara Gandhi di seberang menyahut.

"Halo? Rayya? Ada apa telpon malem-malem? Kangen ya?"

"Apaan sih! Ha-ha.... Maaf ganggu, Ndhi. Lagi belajar, ya?"

"Enggak, kok. Ini baru aja makan. Ada apa?"

"Ooh, gini..." Rayya terbata. "Aku rasa kita temenan aja mulai sekarang."

"Maksud kamu?"

"Kita...putus."

"Putus? Kenapa?"

"Kita udah enggak cocok aja, Ndhi. Kita temenan aja, ya, mulai sekarang."

"Loh, kok gitu? Rayya? Rayya!"

Tut...tut...tut!

Rayya segera menutup telepon. Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

***

Dua minggu berlalu sejak kejadian putus malam itu. Rayya menjalani hari-harinya seperti biasa, meski ada hampa yang tak biasa dia rasakan. Rayya berusaha melupakan Pangeran Rumusnya itu. Album foto, hadiah-hadiah lucu, tiket nonton bioskop, dia migrasikan pada sebuah kardus, diselotip lalu sembunyikan di kolong tempat tidur. Beres. Namun,  Gandhi masih sering menghubunginya dan sebisa mungkin tak dia hiraukan. Di kelas pun Rayya berusaha untuk tidak membuat percakapan dengan cowok itu.

***

Hari Senin. Uapcara bendera kembali dilaksanakan. Peserta upacara tidak begitu antuisas mengikuti jalannya upacara, terlebih matahari bersinar terlalu terang hari itu. Hingga sampailah pada ritual yang paling membosankan bagi Rayya. Penerimaan hadiah dan piala bagi siswa berprestasi yang berhasil memenangkan lomba. Baginya suatu hal yang mustahil untuk dapat maju ke tengah lapangan  sana, menerima piala dan mendapat ucapan selamat dari bapak ibu guru. Terlihat Waka Kesiswaan, Pak Sanjaya tengah mengumumkan nama-nama siswa berprestasi beserta lomba yang diikuti. Segera siswa-siswa yang tercantum namanya menuju ke tengah lapangan. Termasuk Gandhi, kali ini dia menjuarai lomba karya ilmiah yang dilaksanakan oleh salah satu universitas terkemuka di Indonesia.

Namun tiba-tiba nama Rayya dipanggil. "Rayya Fauzia Nurmala, kelas XI IPA 3, Juara 1 Lomba Cipta Cerpen Remaja Tahun 2012! Silahkan kepada saudara Rayya untuk menuju ke tengah lapangan."

"Rayya! Kamu juara lomba cerpen! Selamat yaaa!!!" Ivany langsung memeluk Rayya. Namun dia tak percaya apa yang baru saja Pak Sanjaya katakan. Kapan dia ikut lomba cerpen?

Dengan penuh keheranan, Rayya menuju ke tengah lapangan. Dia mendapat tempat  di samping Gandhi. Kenapa harus di samping Gandhi, batinnya.

"Selamat ya!" ucap Gandhi. Wajahnya sumringah, bibirnya membentuk sebuah senyuman. "Aku udah pernah bilang, kan, kalo kamu punya bakat nulis. Ternyata memang bener, buktinya dapet juara 1."

"Makasih, Ndhi," balas Rayya dengan kikuk. "Tapi, aku enggak pernah ngirim cerpenku ke lomba apa pun. Semua cerpenku kan ada di.... Oh My God! Flashdisk-ku!"

Gandhi tersenyum sekali lagi. Dia lalu mengeluarkan benda kecil berwarna putih itu dari saku celananya. "Ini flashdisk-mu. Makasih, ya. Maaf baru aku kembaliin sekarang."

Rayya menerima benda itu dari tangan Gandhi. Dia ingat, seminggu sebelum putus, Gandhi meminjam flashdisk-nya. Dia tidak menyangka cowok itu....

"Oh ya, mulai sekarang enggak perlu minder, ya. Setiap orang punya keahliannya masing-masing, kok. Termasuk kamu," lanjut Gandhi. Rayya benar-benar malu. Duh, Pangeran Rumus itu, mungkin aksi melupakannya akan dia batalkan saja.

***

(Oleh: Naisa 'Aqila, foto: kootation.com)