Sepuluh Kutukan Dawet Ayu

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 Juli 2013 | 16:00 WIB
Sepuluh Kutukan Dawet Ayu (Astri Soeparyono)

***

Hari ini tanggal 28 Desember, dan usiaku genap 17 tahun. Tapi semua tampak biasa saja, tak ada yang spesial. Well, mungkin mereka lupa sekarang tanggal berapa. Akhirnya aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Bagas saja daripada aku mati di kamarky saking bosannya.

            Ini pertama kalinya aku ke rumah Bagas, dan seisi rumahnya menyambutku dengan sangat ramah. Mereka menyuguhiku dengan begitu banyak makanan enak. Apa hari ini wajahku terlihat seperti orang yang belum makan tujuh hari tujuh malam? Tapi tak apalah, aku memang sangat lapar sekarang. Siangnya aku pamit pulang.

            Aku menghabiskan sisa waktuku dengan hanya duduk bermalasan sambil nonton TV kabel, tapi suara ketukan pintu mengusikku. Dengan enggan aku membuka pintu.

"Happy Birthday!" Kelima sahabatku langsung memelukku.

"Kupikir kalian lupa ulang tahunku," kataku datar. Dan kelima sahabatku langsung mencubiti pipiku. Semua bergegas ke kamarku menghabiskan makanan yang dibawa Kiki, pizza dan es krim.

"Kenyangnya," ujarku sambil mengelus perutku yang sekarang membuncit.

"Arrrgh!" jeritan kelima sahabatku membuatku bingung. Mereka terlihat ketakutan sekali. Apa ada sesuatu yang ganjil denganku? Aku memutuskan melangkah menuju cermin terdekat. Dan...

Oh My God! Seluruh tubuhku rasanya mati rasa sekarang. Aku tak kuasa mengedipkan mataku, aku gemetar. Aku mundur beberapa langkah dan menjatuhkan diriku ke kasur. Jantungku berdegub tak karuan, aku terlalu syok.

"Ti, ini enggak mungkin! Ada jerawat besar di hidungmu, itu berarti..." Hesti tak kuasa menyelesaikan kata-katanya. Iya aku tahu, itu berarti akulah penghianat seperti yang dikatakan peramal. Tapi aku tak merasa telah mengkhianati perjanjian itu, apalagi akulah yang telah membuat perjanjiannya.

Aku bangun dan duduk di antara mereka, masih memejamkan mataku dan berusaha mengingat kembali. "Aku tak pernah merasa meminum minuman menjijikkan itu, menyentuhnya pun tidak." Aku membuka mataku dan kelima sahabatku terlihat semakin bingung sekarang. "Tunggu!" Akhirnya aku ingat sesuatu, dan mata mereka langsung melotot penasaran.

"Hari ini aku ke rumah Bagas, mereka menyuguhiku dengan begitu banyak makanan dan minuman. Hei! Kalian bisa mendeskripsikan dawet ayu itu seperti apa?!" tanyaku tak sabar.

"Warnanya cokelat gula jawa, terus ada cendol hijaunya. Enak banget menurutku, apalagi kalau ada sari durennya," jawaban Riska membuatku semakin lemas saja. Apalagi, perasaan benciku terhadap Bagas sudah memuncak lagi sekarang. Ingin rasanya kutendang bokong dan muka jeleknya.

"Well, aku memang telah tidak sengaja meminumnya di rumah Bagas tadi," kataku parau, tapi aku menekankan nadaku pada kata "tidak sengaja". Kelima sahabatku menepuk-nepuk pundakku.

"Selamat menikmati hari-hari Anda yang penuh dengan kutukan!" ujar mereka berbarengan. Aku tersenyum kecut mendengarnya.

Sekarang aku tahu, tanpa sadar aku telah menjalani kutukan nomor 1 dan 2, makan pizza dan es krim gratis. Kemudian tumbuh jerawat besar di hidungku, dan sebentar lagi bakal ada kutil di bawah mataku. Dan aku tak sanggup mengingat kembali kesepuluh kutukan itu. Seandainya aku tak pernah membuat kutukan ini, seandainya aku tak pernah bertemu peramal itu, seandainya aku tak pernah membuat perjanjian konyol itu, seandainya aku tahu wujud dawet, seandainya semuanya tidak hanya seandainya.

Tapi setidaknya aku berpikiran waras sekarang. Aku harus mencintai diriku sendiri sebelum mencintai orang lain. Dan sebelum aku mencintai Indonesia, aku harus dulu mencintai Banjarnegara. Dan sekarang aku tahu ternyata dawet ayu itu rasanya enak dan tidak kampungan. Tapi tetap saja kutukan ini menghantuiku.

"Kutukannya hanya berlaku pada bulan Desember ini saja, kan?" tanyaku akhirnya.

Kelima sahabatku mengangkat bahu bersamaan. Entah kenapa tubuhku gemetaran lagi. Oh My God, aku benar-benar tak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan kutukan ini. Apalagi orang yang kubenci sekarang itu Bagas, yang benar saja dia bakal jadi pacarku.

(Oleh: Titi Setiyoningsih, foto: imgfave.com)