Sepuluh Kutukan Dawet Ayu

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 Juli 2013 | 16:00 WIB
Sepuluh Kutukan Dawet Ayu (Astri Soeparyono)

Ini jam terakhir, dan tenaga konsentrasiku telah terkikis akibat insiden saat istirahat tadi. Bahkan aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang diterangkan oleh guru bahasa Inggrisku di depan kelas. Kuputar kepalaku, meneliti keadaan sekitar. Tangan Kiki dan Dian bergerak aneh di laci meja, tanda mereka sedang bersms ria dengan cowok mereka. Hesti dan Windi asik ngobrol tanpa peduli kalau sejak tadi Bu Pur melirik ke arah mereka. Dan aku merasa iri dengan Riska, teman sebangkuku yang sudah molor sejak awal pelajaran. Aku berani bertaruh mereka lupa kalau tiga bulan lagi sudah UAN SMA.

Pikiranku berlari mundur menuju saat istirahat tadi. Seperti yang biasa dilakukan oleh kalangan anak-anak populer di sekolahku, saat istirahat adalah saat yang paling tepat untuk nongkrong di tepi lapangan basket. Entah itu hanya sekadar bertukar gosip atau hal lainnya yang terkadang tampak tidak penting bagi anak-anak OSN.

 "Aku heran deh, anak-anak autis itu, kok, dari tadi mondar-mandir terus di depan kita," kata Dian kesal, keantusiasannya menonton basket menjadi terganggu karena anak-anak OSN itu.

"Bener banget! Aku jadi enggak konsen nonton permainan basket Ihsa! Lagian, buat apa sih pake acara mindahin cendol sebanyak itu ke kantin," Kiki rupanya juga merasa terganggu.

"Payah banget, sih, kalian. Hari Sabtu besok sekolah kita kedatangan tamu yang jumlahnya cukup banyak. Mereka itu para guru dan pelajar perwakilan salah satu SMA internasional dari Turki," celoteh Riska bak penyiar berita.

"Terus apa hubungannya sama cendol?" tanya Hesti polos.

"Aduh! Cendol itu dibikin dawet, terus dihidangin buat tamu kita dari Turki. Itu kan sebagai salah satu cara untuk memperkenalkan ciri khas kabupaten kita tercinta, Banjarnegara," imbuh Riska yang kelihatannya bersemangat sekali ingin memajukan kota ini.

"Please, deh, enggak penting banget ngomongin hal itu. Mending balik ke kelas, yuk," akhirnya aku angkat bicara, tidak tahan mendengar mereka membicarakan hal yang tidak aku mengerti. Aku memang asli Banjarnegara, tapi jangan harap aku tahu apa itu cendol. Bahkan aku sama sekali tak tahu dawet ayu itu seperti apa, rasanya bagaimana, atau semacam itulah. Yah, walaupun semua orang bilang dawet itu enak, tapi tetap saja kampungan.

 Dan saat kami berjalan ke kelas tiba-tiba seorang cowok menabrakku dari arah belakang. Aku menjerit tertahan, tubuhku tersungkur tak berdaya. Cowok berkacamata itu juga jatuh di sebelahku. Kendi yang tadi dibawanya pecah, isinya membasahi seragam OSIS-ku. Perutku langsung mual melihat tumpahan kendi yang tampak seperti lendir hijau.

"Titi, kamu baik-baik aja?" Cowok yang menabrakku langsung membantuku berdiri, ternyata dia Bagas. Salah satu anak OSN sekaligus tetangga culunku. Dan bisa kulihat, semua orang mengerubungi kami sekarang.

"Halo! Buta, ya? Enggak liat, nih, seragam jadi ijo semua?! Lecet juga nih?!" bentakku keras-keras sambil melotot kearahnya.

"Aduh, maaf, Ti. Jangan marah, ya? Nanti aku bantuin ngerjain Fisika-mu lagi deh," ceplos Bagas dengan polosnya, terlihat jelas ekspresi ketakutan dari wajah lugunya. Saat mendengar hal itu, semua anak populer yang mengerubungi kami mendelik jijik pada kami berenam.

"Eh maaf, ya. Kenal juga enggak!" ujarku berbohong, pamorku bisa turun kalau semua tahu Bagas tetanggaku. Apalagi kalau sampai tahu dia sering mengerjakan tugas Fisikaku. Aduh, gengsi dong.

"Hayoh! Ngelamun terus!" tiba-tiba Dian membuyarkan lamunanku, ternyata bel tanda pulang telah berbunyi.

"Apaan, sih!" jawabku sedikit ketus. "Kayaknya kita harus buat perjanjian, deh. Pokoknya siapapun dari kita berenam enggak ada yang minum dawet ayu sebelum tahun baru," kataku lagi mantap.

"Bener, Ti! Itu sebagai peringatan kesialan kita gara-gara Bagas si juragan dawet ayu," dukung Windi, dan semua tersenyum tanda setuju. Aku baru ingat kalau orangtua Bagas pembuat dawet.

"Laper banget, nih. Ke alun-alun, yuk, cari makan," usulan Kiki yang melenceng dari obrolan langsung disetujui kami berlima, kalau masalah perut pasti kompak deh.

***

Saat kami sampai di Alun-alun, hujan turun. Ini bulan November, jadi bisa dipastikan akan ada hujan setiap harinya. Dan sekarang, aku bersama kelima sahabatku sedang berteduh di bawah pohon Beringin Kembar. Aku memperhatikan sekelilingku, hanya ada kami berenam. Tunggu dulu, tepat di depanku ada seorang wanita separuh baya yang duduk sila di atas tikar usang. Di sampingnya, berdiri papan kecil bertuliskan "Peramal Sakti". Aku jadi sedikit merinding saat membacanya.

"Ih, ada peramal, tuh. Gimana kalau kita nyobain ngeramal masa depan kita?" lagi-lagi Kiki yang pertama mengusulkannya.

"Ogah! Buat apa sih? Mending kita..." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, kelima sahabatku sudah bergegas ke tempat peramal itu. Aduh, apa mereka lupa adab mengobrol yang sopan? Sukanya asal ngeloyor gitu.

"Mau Madam ramal tentang apa? Madam hanya akan meramal satu hal saja, nanti Madam kasih solusinya," kata peramal itu. Hei, dia menyebut dirinya Madam? Enggak salah, tuh? Norak banget, sih.

"Masa depanku dengan Ihsa!" celetuk Kiki.

"Hei, tentang kota Banjarnegara aja!" usulan dari Riska tentunya.

 "Udah! Stop!" aku mencoba mengendalikan situasi yang dijamin sebentar lagi bakal ramai. "Biar adil, kita ngeramal persahabatan kita berenam."

Peramal itu memejamkan matanya, sesekali alisnya berkerut dan bibirnya mengerucut. "Ada pengkhianat!" seru peramal itu tiba-tiba. Kami berenam melompat mundur besamaan saking kagetnya.

"Akan ada di antara kalian yang minum dawet ayu sebelum tahun baru," kata peramal itu lagi.

"Siapa Madam?" tanyaku penasaran..

"Wah, kalau itu belum jelas, Nak." Kalau ini adegan dalam komik, aku pasti sudah terjengkang ke belakang. "Tapi sebelum hal itu terjadi, kalian bisa membuat kutukan," imbuhnya.

"Kutukan?" tanya kami berenam berbarengan.

"Iya, kutukan yang akan menimpa pengkhianat itu setelah dia minum dawet ayu. Kalian harus menuliskannya pada kain putih ini." Peramal itu menyodorkan kain putih seukuran sapu tangan.

Kami bersepakat kalau satu anak mempunyai hak menulis dua kutukan.

10 Kutukan Dawet Ayu

1.    Dapat es krim gratis.

2.    Pizza gratis.

3.    Tumbuh jerawat besar di ujung hidung.

4.    Tumbuh kutil di bawah mata kanannya.

5.    Selalu berbicara dengan vokal U.

6.    Terkena kutu rambut.

7.    Gatal-gatal di sekujur tubuhnya.

8.    Seluruh badan berbintik merah.

9.    Tercebur got dalam keramaian.

10. Jadian dengan orang yang dibenci.

Kutukan nomor 1 dan 2 itu berasal dari Kiki, nampak bukan sebuah kutukan menurutku. Tapi aku penasaran dengan pengkhianat itu. Bisa saja Riska, dia itu pengagum Banjarnegara dengan segala isinya.

***

Semua sibuk menghadapi tes semester pada awal Desember. Keadaan ini membuatku semakin akrab dengan Bagas, hampir setiap hari Bagas berkunjung ke rumahku. Jangan berpikiran macam-macam dulu, dia ke rumahku hanya untuk mengajariku materi yang belum kukuasai. Sialnya tak satupun materi yang kukuasai selama ini, dan itu membuat Bagas menjadi sering ke rumahku. Dan aku tak membencinya lagi sekarang.

"Kapan-kapan aku boleh berkunjung ke rumahmu, kan?" tanyaku malu-malu saat hari terakhir kami belajar bersama.

"Ayolah, sejak kapan aku melarangmu datang ke rumahku?" kata Bagas tersenyum geli.

***

Hari ini tanggal 28 Desember, dan usiaku genap 17 tahun. Tapi semua tampak biasa saja, tak ada yang spesial. Well, mungkin mereka lupa sekarang tanggal berapa. Akhirnya aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Bagas saja daripada aku mati di kamarky saking bosannya.

            Ini pertama kalinya aku ke rumah Bagas, dan seisi rumahnya menyambutku dengan sangat ramah. Mereka menyuguhiku dengan begitu banyak makanan enak. Apa hari ini wajahku terlihat seperti orang yang belum makan tujuh hari tujuh malam? Tapi tak apalah, aku memang sangat lapar sekarang. Siangnya aku pamit pulang.

            Aku menghabiskan sisa waktuku dengan hanya duduk bermalasan sambil nonton TV kabel, tapi suara ketukan pintu mengusikku. Dengan enggan aku membuka pintu.

"Happy Birthday!" Kelima sahabatku langsung memelukku.

"Kupikir kalian lupa ulang tahunku," kataku datar. Dan kelima sahabatku langsung mencubiti pipiku. Semua bergegas ke kamarku menghabiskan makanan yang dibawa Kiki, pizza dan es krim.

"Kenyangnya," ujarku sambil mengelus perutku yang sekarang membuncit.

"Arrrgh!" jeritan kelima sahabatku membuatku bingung. Mereka terlihat ketakutan sekali. Apa ada sesuatu yang ganjil denganku? Aku memutuskan melangkah menuju cermin terdekat. Dan...

Oh My God! Seluruh tubuhku rasanya mati rasa sekarang. Aku tak kuasa mengedipkan mataku, aku gemetar. Aku mundur beberapa langkah dan menjatuhkan diriku ke kasur. Jantungku berdegub tak karuan, aku terlalu syok.

"Ti, ini enggak mungkin! Ada jerawat besar di hidungmu, itu berarti..." Hesti tak kuasa menyelesaikan kata-katanya. Iya aku tahu, itu berarti akulah penghianat seperti yang dikatakan peramal. Tapi aku tak merasa telah mengkhianati perjanjian itu, apalagi akulah yang telah membuat perjanjiannya.

Aku bangun dan duduk di antara mereka, masih memejamkan mataku dan berusaha mengingat kembali. "Aku tak pernah merasa meminum minuman menjijikkan itu, menyentuhnya pun tidak." Aku membuka mataku dan kelima sahabatku terlihat semakin bingung sekarang. "Tunggu!" Akhirnya aku ingat sesuatu, dan mata mereka langsung melotot penasaran.

"Hari ini aku ke rumah Bagas, mereka menyuguhiku dengan begitu banyak makanan dan minuman. Hei! Kalian bisa mendeskripsikan dawet ayu itu seperti apa?!" tanyaku tak sabar.

"Warnanya cokelat gula jawa, terus ada cendol hijaunya. Enak banget menurutku, apalagi kalau ada sari durennya," jawaban Riska membuatku semakin lemas saja. Apalagi, perasaan benciku terhadap Bagas sudah memuncak lagi sekarang. Ingin rasanya kutendang bokong dan muka jeleknya.

"Well, aku memang telah tidak sengaja meminumnya di rumah Bagas tadi," kataku parau, tapi aku menekankan nadaku pada kata "tidak sengaja". Kelima sahabatku menepuk-nepuk pundakku.

"Selamat menikmati hari-hari Anda yang penuh dengan kutukan!" ujar mereka berbarengan. Aku tersenyum kecut mendengarnya.

Sekarang aku tahu, tanpa sadar aku telah menjalani kutukan nomor 1 dan 2, makan pizza dan es krim gratis. Kemudian tumbuh jerawat besar di hidungku, dan sebentar lagi bakal ada kutil di bawah mataku. Dan aku tak sanggup mengingat kembali kesepuluh kutukan itu. Seandainya aku tak pernah membuat kutukan ini, seandainya aku tak pernah bertemu peramal itu, seandainya aku tak pernah membuat perjanjian konyol itu, seandainya aku tahu wujud dawet, seandainya semuanya tidak hanya seandainya.

Tapi setidaknya aku berpikiran waras sekarang. Aku harus mencintai diriku sendiri sebelum mencintai orang lain. Dan sebelum aku mencintai Indonesia, aku harus dulu mencintai Banjarnegara. Dan sekarang aku tahu ternyata dawet ayu itu rasanya enak dan tidak kampungan. Tapi tetap saja kutukan ini menghantuiku.

"Kutukannya hanya berlaku pada bulan Desember ini saja, kan?" tanyaku akhirnya.

Kelima sahabatku mengangkat bahu bersamaan. Entah kenapa tubuhku gemetaran lagi. Oh My God, aku benar-benar tak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan kutukan ini. Apalagi orang yang kubenci sekarang itu Bagas, yang benar saja dia bakal jadi pacarku.

(Oleh: Titi Setiyoningsih, foto: imgfave.com)