"Kamu juga. Jaga diri baik-baik. Jangan lupa pulang ya. Jangan pikir ibumu dan aku tak merindukanmu," ucapku sambil menonjok pelan perutmu. Aku kini sudah bisa menetralisir rasa. Meski dengan perasaan yang aneh. Tidak, aku tidak merasa terlalu kehilangan. Aku menganggap kamu hanya akan pergi ke warung, dan dalam beberapa menit akan kembali lagi.
Itulah kali terakhir kita bertemu. Aku malah sempat mengantarmu ke stasiun. Melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya padamu. Membiarkanmu pergi dengan meninggalkan bermacam kesan. Ya, aku berharap kamu baik-baik di sana. Sama halnya dengan aku yang akan baik-baik saja selepas kepergianmu.
Aku baik-baik saja sampai setahun kepergianmu. Kamu tak berkabar selama hampir satu tahun itu. Aku berpikir kamu sibuk menjadi mahasiswa baru sama halnya denganku yang sedang menikmati indahnya menjadi mahasiswa. Ospek membuatku benar-benar hampir melupakanmu. Lalu hari-hari perkuliahan membuatku menjadi lebih rasional. Aku memilih fokus kuliah dan berusaha tak lagi mengingatmu. Tak lagi bertanya-tanya, kenapa kamu tak berkabar sedikit pun.
Lantas sekarang. Setelah hampir dua tahun kita tak bertemu. Kamu tiba-tiba ada di hadapanku. Bercerita panjang lebar tentang bagaimana hidupmu setelah meninggalkan kota tempat kita dibesarkan. Kamu mengatakan bahwa hidupmu begitu tak menentu. Kamu kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada namun tak pernah kamu rasakan.
"Aku salah selama ini. Aku selalu salah mencintai orang. Seharusnya sejak lama aku menyadari, bahwa kamulah orang yang kucintai. Orang yang membuatku merasa menjadi diriku sendiri. Orang yang membuatku berdiri tegar saat aku merasa terpuruk." Begitulah kata-kata meluncur manis dari bibirmu.
Aku hanya terdiam. Aku tak mampu mengatakan apa-apa. Sejak dulu aku mencintaimu. Namun jika saat ini aku boleh jujur, aku tak lagi mencintaimu. Aku sudah menganggapmu benar-benar sebagai sahabat. Tulus. Tak ada unsur apa pun di balik itu semua.
"Kamu mungkin tak percaya. Aku benar-benar mencintaimu. Aku mungkin terlambat mengatakan ini semua. Namun aku harus mengatakan semuanya. Agar kamu tahu. Selama setahun pertama aku di Yogya, kuliahku kacau. Aku tak benar-benar kuliah seperti yang kamu dengar dari orangtuaku. Setiap hari aku hanya jalan-jalan. Menyusuri malioboro, begadang di alun-alun kidul, atau ke Parangtritis bersama beberapa teman. Semuanya kulakukan hanya karena aku selalu mengingatmu. Dalam pikiranku hanya ada kamu. Hanya kamu." Kamu bercerita panjang lebar, setelah kamu melihat reaksiku yang nampak kaget dan hanya bisa melongo, menatapmu tak percaya.
Aku ingin jatuh cinta. Seperti dulu aku jatuh cinta padamu. Pada matamu yang menghimpun lautan. Pada tubuh hutan hujan tropismu. Pada suaramu yang serupa candu. Aku ingin jatuh cinta seperti ketika aku jatuh cinta padamu. Dulu.
"Aku sahabatmu. Baik dulu mau pun sekarang. Jadi aku akan tetap menjadi sahabatmu," ucapku pelan. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu.
"Aku mengerti, kamu pasti akan menjawab seperti itu. Aku tahu. Tapi ijinkan aku mencintaimu sebagai kekasih mulai sekarang. Jadilah kekasih bukan sahabatku." Kamu berkata seolah memaksa.
Jika sekarang kamu tanyakan, apakah aku juga mencintaimu? Aku akan menjawabnya, tidak. Aku mencintai kamu yang dulu. Bukan kamu yang sekarang. Rasa itu telah kubuang jauh-jauh. Sejak kamu memutuskan untuk pergi meninggalkan kota tempat kita dibesarkan. Kota di mana seluruh kenangan aku bersamamu kusimpan rapi.
Sungguh, aku tak bisa mencintai kamu yang sekarang. Meski senantiasa ada ruang yang sejak dulu, tak pernah diisi oleh siapa pun, selain namamu. Hanya namamu.***
(oleh: wida waridah, foto: kootation.com)