Ketika Cinta Datang

By Astri Soeparyono, Minggu, 14 Juli 2013 | 16:00 WIB
Ketika Cinta Datang (Astri Soeparyono)

Aku ingin jatuh cinta. Seperti dulu aku jatuh cinta padamu. Pada matamu yang menghimpun lautan. Pada tubuh hutan hujan tropismu. Pada suaramu yang serupa candu. Aku ingin jatuh cinta seperti ketika aku jatuh cinta padamu.

Aku tahu, tak mungkin ada yang bisa sepertimu, tak ada. Tak mungkin ada yang bisa menggantikanmu. Dalam dadaku ini, senantiasa ada ruang yang sejak dulu, tak pernah diisi oleh siapa pun, selain namamu. Hanya namamu.

Kamu memang tak benar-benar mengharapkan aku. Bagimu, aku hanya seorang sahabat. Cukup. Tidak lebih. Tak ingin lebih. Kamu lebih memilih perempuan lain, yang menurutmu cantik, seksi, pintar, dan banyak alasan lain, untuk bisa membuatmu jatuh cinta.

Sedangkan jatuh cinta padaku, bagimu seperti sebuah dosa. Lantas jadilah kita hanya sahabat. Kamu menceritakan semua yang terjadi dalam hidupmu padaku. Aku mengatakan semua hal, kecuali perasaanku padamu yang sesungguhnya.

Setiap kali kamu menceritakan hubunganmu dengan pacarmu, kali itu juga, selalu ada yang membara dalam dadaku. Aku cemburu. Cemburu pada perempuan yang menjadi kekasihmu. Terkadang, saat kamu memutuskan untuk mengakhiri hubunganmu dengan seseorang, aku merasakan sebuah kebahagiaan. Entahlah, aku merasakan kepuasan yang luar biasa ketika kamu memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan seseorang.

Begitu juga sebaliknya, aku akan merasakan kebahagiaan jika pada satu waktu, kekasihmu memutuskan hubungannya denganmu. Kamu bercerita dengan penuh kesedihan. Aku menghiburmu, meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa perempuan yang memutuskan hubungannya denganmu suatu hari akan menyesal.

Ini mungkin kebahagiaan yang aneh. Ganjil. Seharusnya aku ikut sedih saat itu, merasakan kesedihanmu juga. Sebagai sahabat semestinya aku ikut memaki perempuan yang telah begitu saja memutuskan hubungan cintanya denganmu.

Perasaan seperti itu terus muncul hingga akhirnya kita berpisah. Selepas sekolah menengah atas, kamu memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah di kota tempat kita tinggal. Kamu memilih untuk kuliah jauh dari rumah. Saat itu kamu mengatakan padaku, kamu ingin mencoba belajar hidup mandiri. Kamu ingin merasakan bagaimana hidup jauh dari orangtua.

Sejak saat itulah, aku mengubur segala hal tentangmu. Aku tegaskan pada diriku bahwa aku tak ingin lagi jatuh cinta padamu. Cukup sampai kita menyelesaikan masa SMA bersama. Sebab semakin aku memupuk cinta padamu, aku akan semakin sakit. Aku tak ingin larut dalam cinta platonis.

Maka saat kamu berpamitan padaku, aku mendekapmu. Mendekap erat tubuhmu, menatap matamu yang menghimpun lautan itu, sebagai sahabat. Aku menetapkan untuk menempatkan diriku benar-benar sebagai sahabatmu.

Aku melepaskan segala yang terpendam dengan berat hati, dengan cucuran airmata. Sebelum kamu berangkat meninggalkan kota tempat kita menghabiskan masa kecil hingga sekolah menengah itu, hampir setiap malam aku menangis. Aku menangisi kamu. Menangisi cintamu. Menangisi cintaku. Semuanya membuatku menangis.

"Aku berangkat ya, jaga dirimu baik-baik." Kamu berbisik di telingaku. Suaramu yang candu menyelusup masuk ke dalam sanubariku.

"Kamu juga. Jaga diri baik-baik. Jangan lupa pulang ya. Jangan pikir ibumu dan aku tak merindukanmu," ucapku sambil menonjok pelan perutmu. Aku kini sudah bisa menetralisir rasa. Meski dengan perasaan yang aneh. Tidak, aku tidak merasa terlalu kehilangan. Aku menganggap kamu hanya akan pergi ke warung, dan dalam beberapa menit akan kembali lagi.

Itulah kali terakhir kita bertemu. Aku malah sempat mengantarmu ke stasiun. Melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya padamu. Membiarkanmu pergi dengan meninggalkan bermacam kesan. Ya, aku berharap kamu baik-baik di sana. Sama halnya dengan aku yang akan baik-baik saja selepas kepergianmu.

Aku baik-baik saja sampai setahun kepergianmu. Kamu tak berkabar selama hampir satu tahun itu. Aku berpikir kamu sibuk menjadi mahasiswa baru sama halnya denganku yang sedang menikmati indahnya menjadi mahasiswa. Ospek membuatku benar-benar hampir melupakanmu. Lalu hari-hari perkuliahan membuatku menjadi lebih rasional. Aku memilih fokus kuliah dan berusaha tak lagi mengingatmu. Tak lagi bertanya-tanya, kenapa kamu tak berkabar sedikit pun.

Lantas sekarang. Setelah hampir dua tahun kita tak bertemu. Kamu tiba-tiba ada di hadapanku. Bercerita panjang lebar tentang bagaimana hidupmu setelah meninggalkan kota tempat kita dibesarkan. Kamu mengatakan bahwa hidupmu begitu tak menentu. Kamu kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada namun tak pernah kamu rasakan.

"Aku salah selama ini. Aku selalu salah mencintai orang. Seharusnya sejak lama aku menyadari, bahwa kamulah orang yang kucintai. Orang yang membuatku merasa menjadi diriku sendiri. Orang yang membuatku berdiri tegar saat aku merasa terpuruk." Begitulah kata-kata meluncur manis dari bibirmu.

Aku hanya terdiam. Aku tak mampu mengatakan apa-apa. Sejak dulu aku mencintaimu. Namun jika saat ini aku boleh jujur, aku tak lagi mencintaimu. Aku sudah menganggapmu benar-benar sebagai sahabat. Tulus. Tak ada unsur apa pun di balik itu semua.

"Kamu mungkin tak percaya. Aku benar-benar mencintaimu. Aku mungkin terlambat mengatakan ini semua. Namun aku harus mengatakan semuanya. Agar kamu tahu. Selama setahun pertama aku di Yogya, kuliahku kacau. Aku tak benar-benar kuliah seperti yang kamu dengar dari orangtuaku. Setiap hari aku hanya jalan-jalan. Menyusuri malioboro, begadang di alun-alun kidul, atau ke Parangtritis bersama beberapa teman. Semuanya kulakukan hanya karena aku selalu mengingatmu. Dalam pikiranku hanya ada kamu. Hanya kamu." Kamu bercerita panjang lebar, setelah kamu melihat reaksiku yang nampak kaget dan hanya bisa melongo, menatapmu tak percaya.

Aku ingin jatuh cinta. Seperti dulu aku jatuh cinta padamu. Pada matamu yang menghimpun lautan. Pada tubuh hutan hujan tropismu. Pada suaramu yang serupa candu. Aku ingin jatuh cinta seperti ketika aku jatuh cinta padamu. Dulu.

"Aku sahabatmu. Baik dulu mau pun sekarang. Jadi aku akan tetap menjadi sahabatmu," ucapku pelan. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu.

"Aku mengerti, kamu pasti akan menjawab seperti itu. Aku tahu. Tapi ijinkan aku mencintaimu sebagai kekasih mulai sekarang. Jadilah kekasih bukan sahabatku." Kamu berkata seolah memaksa.

Jika sekarang kamu tanyakan, apakah aku juga mencintaimu? Aku akan menjawabnya, tidak. Aku mencintai kamu yang dulu. Bukan kamu yang sekarang. Rasa itu telah kubuang jauh-jauh. Sejak kamu memutuskan untuk pergi meninggalkan kota tempat kita dibesarkan. Kota di mana seluruh kenangan aku bersamamu kusimpan rapi.

Sungguh, aku tak bisa mencintai kamu yang sekarang. Meski senantiasa ada ruang yang sejak dulu, tak pernah diisi oleh siapa pun, selain namamu. Hanya namamu.***

(oleh: wida waridah, foto: kootation.com)