White Lie

By Astri Soeparyono, Minggu, 16 Juni 2013 | 16:00 WIB
White Lie (Astri Soeparyono)

"Aku kasihan sama kamu. Kayaknya kamu banyak masalah. Ini bisa bantu nenangin kamu."

 

Demi kebaikan dia? Sejak kapan barang haram ini untuk kebaikan? Kamu yang malah menghancurkan masa depan dia. Jangan membohonginya. Sebuah suara muncul di kepalaku.

 

Salah, justru aku menyelamatkan dia dari segala masalahnya. Aku berbohong demi kebaikannya.

Sampai akhirnya aku sadar bahwa aku tidak menyelamatkan Donny. Aku membunuhnya, begitu pula beberapa orang lain yang kuberikan barang haram itu. Aku telah menjadi iblis pencabut nyawa bagi mereka.

 

Kamu sudah tiada, Putri. Hati dan nuranimu telah habis dimakan ulat. Pikiranmu telah hancur digerogoti rayap. Entah apa itu tapi fisik dan rohanimu telah dipenuhi beribu-ribu parasit yang semakin meningkat tiap saat. Parasit itu telah membunuh dirimu yang sebenarnya. Tidak ada yang bisa kamu lakukan. Tidak ada. Kecuali membunuh pusat dari parasit tersebut, yakni jantungmu yang telah mengedarkannya ke setiap sel darahmu.

Tidak ada! Tidak ada yang bisa kulakukan. Entah sudah berapa pasang mata tajam menghujam ke arahku, menyiratkan pandangan benci, dendam, ingin membunuh. Tak berani aku mendekat ke arah gundukan tanah yang masih baru itu, dengan nisan bertuliskan nama di atasnya. Entah sudah berapa makam yang kukunjungi, bukan karena rasa simpati, melainkan karena rasa bersalah.

Bersalah karena melenyapkan masa depan mereka. Bersalah karena menyiksa fisik dan batin mereka. Bersalah karena membunuh mereka...

Masih ada, walau sekecil biji jagung, hati yang tidak membusuk di dalam sana, berwarna merah cerah, bukan hitam legam. Tinggal sebesar kelereng pikiran waras yang masih tersimpan. Keduanya belum tersentuh parasit yang tentu tak lama lagi akan menyebar ganas, membunuh seluruh sisa jiwa dan ini, mematikan perasaan dan pikiran, membusuk di dalam sebuah raga layaknya sebuah robot. Tak berperasaan, tak bisa mencintai, tak bisa berpikir waras. Menjadi sebuah benda mati, tak berguna, layak untuk disingkirkan.

Sebelum itu terjadi, aku yang akan mengakhirinya. Lebih baik tanganku sendiri yang mencabut jantung ini, daripada membusuk oleh parasit di dalamnya. Kepada siklus alam yang telah kurusak, orang-orang yang telah kubohongi, aku tidak akan meminta maaf. Aku akan menanggung akibatnya.

Dengan sisa-sisa tenaga, pisau tajam itu langsung menghujam pusat dari tempat parasit tersebut. Jantungku. Sisa hati yang belum membusuk serta pikiran yang waras seakan bernapas lega, mendukung keputusanku, membuat mereka tetap bersih sebelum ternoda. Dan dengan napas yang tinggal beberapa tarikan terakhir, bersamaan dengan cairan merah membasahi tubuhku, aku mendengar mereka berujar.

 

Apa pun itu alasannya, bohong tetaplah tak baik. Orang yang berbohong sekali, akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan pertama. Apabila tidak ingin kebohongan tersebut terlanjut, berani dan jujurlah. Namun tetap saja, kamu akan menerima ganjaran dari setiap kebohongan yang kamu buat.

***

Andini menutup diary bersampul kusam tersebut. Entah sudah yang kesekian kalinya ia membaca isinya, dan tak pernah bosan. Namun kali ini, tidak ada air mata yang keluar, hanya senyum tipis dan getir ketika ia meletakkan sebuket bunga dan diary tersebut ke atas gundukan tanah yang sudah mengeras.

"Aku kesini untuk mengembalikan diary ini. Terima kasih atas pelajaran hidupnya. Mungkin aku sudah merelakan kepergian Kakak, tapi aku belum bisa memaafkan Kakak. Maaf, enggak ada yang bisa aku lakukan. Tapi aku akan selalu mendoakan Kakak."

Dan sekali lagi Andini mengusap nisan batu tersebut lalu berdiri dan melenglang pergi. Meninggalkan nisan yang bertuliskan PUTRI ANINDYA beserta diary serta buket bunga di sampingnya.

***

(Oleh: Siti Rahayu Nurzakiah, foto: weheartit.com)