Aku hanya ingin ditanya. Seperti yang dulu Mama lakukan setiap pagi.
"Bangunlah, Sayang. Matahari telah menjelang. Anak gadis tidak boleh bangun siang. Nanti jodohnya terbang. Mau sarapan apa, Bintang? Roti panggang atau nasi rendang?"
Ah, Mamaku memang pandai merangkai kata-kata berirama. Aku langsung memeluk dan mencium pipinya. Biasanya Mama protes.
"Ih, belum sikat gigi, sudah cium pipi. Mama nanti alergi. Kecantikan Mama langsung pergi...."
"Iuw! Mama ganjen...!" Mama selalu menemaniku sarapan dan mengantarku sampai pintu gerbang rumah saat bis sekolah datang menjemput. Aku tak pernah memalingkan wajah sampai lambaian tangan Mama menghilang saat bis berbelok di tikungan jalan. Senyum Mama menemaniku sepanjang hari.
***
Aku hanya ingin ditanya. Seperti yang dulu Mama lakukan setiap siang, sepulangnya aku dari sekolah.
"Bagaimana harimu di sekolah, Nak?"
Biasanya aku bercerita sambil mengganti pakaian. Aku bercerita tentang ulangan mendadak yang diberikan oleh Pak Purba, guru matematika yang super killer.
"Pak Purba parah sekali, Ma! Dia memberi ulangan mendadak! Dia bahkan tidak peduli pada protes anak-anak sekelas yang tidak siap diberi ulangan!"
"Tapi kamu enggak ada masalah mengerjakan ulangan itu, 'kan, Sayang?"
"Enggak dong, Ma. Anak Mama ini keturunan Einstein! Soal sesulit apa pun, aku berantas sampai tuntas!"