Aku Hanya Ingin ditanya

By Astri Soeparyono, Sabtu, 25 Mei 2013 | 16:00 WIB
Aku Hanya Ingin ditanya (Astri Soeparyono)

            Aku hanya ingin ditanya, Ma. Seperti yang dulu Mama lakukan sebelum tidur.

            "Kamu masih belajar, Sayang?"

            "Iya, Ma. Besok ada ulangan fisika. Aku harus menghafal rumus-rumus sebanyak ini. Doakan agar nilaiku bagus, ya Ma."

            "Selalu, sayang. Dalam setiap sisa hembusan nafas Mama, selalu terselip doa untukmu, untuk Papa, untuk keluarga kita. Semoga kita masih bisa berkumpul lebih lama lagi."

            "Apa maksud Mama? Kita akan terus bersama selamanya, kan? Mama, Papa dan aku akan selalu bersama selamanya. Ya, kan, Ma?" Pertanyaanku dijawab Mama dengan senyum samar.

            "Jika kamu sudah lelah, tidurlah, Sayang. Jangan terlalu dipaksakan. Jaga kesehatanmu, Nak. Mama tidur duluan, ya...."  

            "Mama kenapa? Mama sakit, ya?"

            "Tidak, Sayang. Mama hanya sedikit lelah...."

            "Ya sudah, Mama istirahat, ya. Bintang mau menyelesaikan satu soal lagi, lalu Bintang akan tidur. Selamat malam, Mama. I love you...."

            "I love you too, my star...."

***

            Mama masih ingat semua itu, 'kan? Kenapa Mama sekarang diam saja? Sudah seminggu ini Mama hanya terbaring di tempat tidur rumah sakit. Mata Mama tak pernah terbuka lagi. Tubuh Mama dihiasi selang-selang dan jarum. Hanya gerakan dada yang naik turun sangat pelan, yang menandakan bahwa Mama ada masih bersamaku.

            Bangunlah, Ma! Bicaralah kepadaku. Aku punya banyak cerita untuk Mama. Aku ingin bercerita tentang Denada yang akhirnya jadian dengan Reno. Aku ingin cerita tentang nilai-nilai ulanganku yang hancur. Tapi aneh. Para guru sama sekali tidak memarahiku. Mereka malah menghiburku.

            "Sabar, ya Bintang...."

            "Kamu pasti bisa melalui cobaan ini, Bintang...."

            "Semoga Mamamu cepat sembuh, Bintang...."

            Aku juga ingin bercerita tentang Gilang. Mama benar. Ternyata Gilang juga merasakan seperti apa yang aku rasakan terhadapnya. Mama benar. Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri. Mama tahu tidak? Gilang ada di sini bersamaku. Dia selalu menemaniku. Dia hampir tak pernah membiarkan aku sendiri. Kadang aku harus memaksanya pergi untuk meninggalkan aku berdua saja bersama Mama.

            Kenapa Mama tak pernah bercerita kepadaku dan Papa? Kenapa Mama menyimpannya sendiri? Kenapa Mama menahan semua rasa sakit itu seorang diri? Mama tak ingin membuat aku sedih, ya? Justru aku lebih sedih, Ma. Ketika pulang sekolah, aku menemukan Mama pingsan di kamar mandi.

Mereka bilang, Mama menderita kanker hati stadium tiga. Mereka bilang, hanya keajaiban yang bisa membangunkan Mama. Mereka bilang, hidup Mama sekarang tergantung dari mesin pemicu jantung. Mereka bilang, hanya menunggu persetujuan Papa untuk menghentikan mesin itu. Mereka bilang, tinggal menunggu bilangan waktu. Mereka bilang....

Bangun dong, Ma. Sekali lagi saja. Demi aku, Bintang di hatimu. Aku hanya ingin ditanya tentang bagaimana hari-hariku tanpa kehadiran Mama.

'***