Sampahnya, Kakak!

By Astri Soeparyono, Sabtu, 23 Februari 2013 | 16:00 WIB
Sampahnya, Kakak! (Astri Soeparyono)

Ebi membeli sebotol air mineral dari kantin. Sapu tangan sudah disiapkan di saku kemeja, agar mudah mengambil. Ebi tengah beruntung, Awan sendirian dengan tubuh berpeluh setelah bermain basket di bawah teriknya matahari. Ebi duduk di sebelah Awan dan menyodorkan sapu tangan motif kotak-kotak biru itu. Awan menerimanya tanpa ragu dan meminum air mineral itu lalu mengulurkan tangan yang segera disambut meriah oleh Ebi.

"Jadi nama lo Ebi? Thanks ya, Bi. Oh ya, jangan lupa dukung Awan-Rizky. Nomor 2. Jangan salah pilih," sahut Awan ramah sambil promosi.

Dan begitulah awal perjuangan Ebi menuju Awan. Bahkan Ebi dengan sadar dan ikhlas membantu Awan-Rizky dalam kampanyenya. Berteriak, menempel poster dari dinding ke dinding, sampai merangkai bunga-bungaan untuk dibagikan kepada siswa-siswi sekalian. Rasanya orang buta pun dapat melihat perasaan Ebi untuk Awan. Ebi memanfaatkannya sebagai salah satu usaha pendekatan pada pujaannya itu. Awan jelas enggak masalah, dia banyak dibantu Ebi. Tapi perasaannya ke Ebi, sih, perlu diragukan. Tapi bukan cinta kalo enggak buta. Ebi sih enggak peduli asal bisa dekat dengan Awan.

Usaha keras mereka enggak sia-sia karena Awan Rizky berhasil dinobatkan sebagai ketua dan wakil OSIS yang baru dengan perolehan suara cukup mengagumkan. Delapan puluh lima persen dari hasil suara memilih Awan dan Rizky. Mungkin virus cinta para perempuan turut menginfeksi laki-laki sekalian. Ebi jelas bahagia dengan keberhasilan Awan.

Hari-hari bahkan 1 tahun telah berlalu. Hubungan Ebi dengan Awan masih sebatas teman. Ebi yang memang agak manja mungkin bukan tipe kesukaan Awan. Seperti pria kebanyakan, terbukti yang disukai Awan adalah tipe cewek ramping berambut hitam lurus panjang. Berkulit putih dengan mata cokelat dan kaki kurus dan jenjang. Yang tadi dijelaskan adalah Rani, pacar Awan sejak 11 bulan lalu. Kabar ini jelas bukan kabar gembira buat Ebi. Tapi Ebi menerimanya tanpa ada sedikit niat untuk menjauh pelan-pelan dari Awan.

Beberapa hari kemudian, Ebi dan teman-temannya baru menyelesaikan pekerjaan mading ketika matahari sudah berwarna oranye pertanda sore. Pengurus OSIS juga tampak baru mengakhiri rapat mereka. Icha diantar Rizky pulang. Hubungan mereka lancar mengundang iri. Gerimis yang perlahan turun pasti akan mendramatisir perasaan sepasang jiwa yang sedang mabuk cinta. Tidak hanya sepasang, bahkan Ebi merasa bahagia meski hanya berdiri di samping Awan. Mereka tidak bicara sedikit pun. Ebi juga tidak tahu harus bicara apa karena mereka memang lama tidak mengobrol. Awan terdengar meremas kertas sambil berdecak kesal. Lalu ia berlari menembus hujan ke seberang lapangan dan melempar remukan kertas kuning itu sembarangan.

"Awan!" teriak Ebi. Awan menoleh.

"Sampahnya!" seru Ebi. Awan tidak menjawab. Ia sudah sampai di koridor seberang Ebi berdiri.

"Awan!" ulang Ebi. Kali ini Awan tidak peduli.

"Awan jahat!!" seru Ebi hampir menangis. Ebi berlari memungut kertas kuning yang dibuang Awan dan meletakkan sampah itu di tempatnya. Awan melihat kejadian itu tanpa Ebi sadari. Ebi yang biasanya selalu ingin tahu, kali ini tidak. Tanpa sedikit pun berminat ia membuang kertas itu begitu saja. Merupakan suatu yang aneh bagi yang mengenal Ebi, karena tidak sekali pun ia melewatkan kertas yang lewat tanpa ia baca. Ebi menangis dalam perjalanan pulangnya. Tidak dipungkiri Awan khawatir dan bingung dengan Ebi. Meskipun ingin menemaninya, keinginan Awan kalah besar dengan gengsinya yang kelewat tinggi. Ebi berjalan di hujan yang semakin besar tanpa ada usahanya menghindar hujan.

Dua hari kemudian Ebi masuk tanpa kobaran semangat seperti biasanya. Tapi ia tetap tertawa mendengar candaan Icha, atau hanyut pada gosip Putri. Kecuali gosip yang baru saja Putri ceritakan saat pelajaran kosong sebelum pulang.

"Katanya Awan-Rani udah bubar dari empat bulan lalu,"