Sesuatu Yang Indah

By Astri Soeparyono, Sabtu, 1 Desember 2012 | 16:00 WIB
Sesuatu Yang Indah (Astri Soeparyono)

          Aku kira tidak ada yang suka. Tetapi antara memilih untuk menjadi benar dan menjadi bijak tidaklah mudah. Alasan untuk menjadi seorang cowok yang benar-benar bisa baik sebelum mengizinkan aku masuk menjadi bagian dari kehidupannya yang utuh kini menyergapku. Walau aku tahu bukan aku saja yang mengalami permasalahan seperti ini tetapi merasakannya lebih sulit daripada sekedar membayangkannya.

          Dan sekarang dengan terbata-bata dia beri tahu aku bahwa ia akan pergi. Dan kenyataan yang pahit menerapku, menerjang dengan amat sakit, yaitu kenyataan bagaimana lemahnya aku bila dia tak ada. Sesungguhnya jika aku bisa itu adalah hal yang paling ingin aku hindari. Rasa sedih dan sakit demi menjadi saksi bagaimana dia menjadi cowok yang paling dicintai dalam keluarganya dan paling dibutuhkan teryata tak bisa disangkal. Seharusnya aku senang memilikinya. Namun, menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa dalam kehidupannya yang sejati membuat aku dilemma. Di lain sisi teryata orang yang aku kasihi menyakitiku.

          Dia akan pergi. Tinggal menghitung waktu. Aku merasa seperti kehilangan oksigen dan paru-paruku mengerut. Sakit sekali. Aku seperti kehilangan darah dan jantungku hanya mampu berdetak setengah kali lebih lambat dari biasanya. Memikirkannya membuat aku luar biasa sedih. Membayangkannya membuat aku ingin menangis. Jika dia tak ada aku tak tahu harus bagaimana. Dia adalah kawan yang paling dekat denganku, dengan jiwaku, dengan ragaku, dengan hatiku. Seorang dia menjadi penuntun langkahku bagai lilin kala gelap menyergap. Pelitaku. Kompasku. Pusat orbitku. Matahariku. Pusat diriku.

          Tiga jam sebelum kepergiannya dia mendatangiku. Dia antara jeda pergantian pagi dan siang. Aku sudah memperkirakan ini akan terjadi. Namun otakku terlalu sesak untuk mengucapkan selamat jalan. "Aku akan pergi," akhirnya kata-kata itu meluncur dari bibirnya. Tersenyum adalah hal yang paling sanggup aku berikan padanya. Bukan sebuah senyuman manis seseorang yang mengikhlaskan pujaan hatinya untuk pergi, melainkan sebuah senyum pasrah dan tak berdaya." Aku akan lama di sana jadi jaga diri baik-baik," itulah kalimat kedua yang ia ucapkan. Aku berusaha mendorong sebuah tawa kali ini tapi yang keluar hanyalah sebuah dengusan lemah tanda tersiksa. Harusnya aku senang jika tahu ia akan bersenang-senang entah di mana ia akan pergi natinya. Namun aku tidak pernah tenang jika ia pergi meninggalkan aku, apalagi jauh dan lama. Aku jadi benci sekali dirinya.

          "Tersenyumlah untukku," pintanya.

          "Apa?" aku bertanya alih-alih tersenyum.

          "Apa kamu rela tak bertemu denganku untuk waktu yang lama?"

          "Aku tidak pernah memilih pilihan itu. Kamu yang memutuskan."

          "Tapi aku bisa apa? Aku dibutuhkan di sana. Keluargaku perlu aku."

          "Seperti aku perlu kamu," potongku.

          "Ya, tapi ini berbeda. Tolong jangan buat aku bingung. Mengerti aku!" Ia menjadi sedikit tak sabar.

          "Lantas, siapa yang akan mengertia aku?" Teriakku.