Sesuatu Yang Indah

By Astri Soeparyono, Sabtu, 1 Desember 2012 | 16:00 WIB
Sesuatu Yang Indah (Astri Soeparyono)

          "Aku akan bersamamu selama apapun yang kamu mau setelah keluargaku selesai denganku," katanya pasrah." Aku janji."

          "Aku tidak butuh janji."

          "Tapi aku juga ingin bisa bersama kamu. Aku bingung."

          "Pergi saja!"

          "Aku..."

          "Pergi! Waktumu sudah habis untuk bersamaku. Bukankah waktumu terbatas bersamaku? Tidak ada yang selama apapun untukku."

          "Maafkan aku" dan kali ini dia menangis di hadapanku.

          Aku yang berhasil berpura-pura tegar ternyata menjadi luar biasa tersentuh olehnya. Aku menjadi merasa bersalah sekali padanya. Seharusnya aku tahu bagaimana bingungnya dia memilih antara aku dan keluarganya. Namun, dia sudah memilih. Akhirnya dia pergi untuk benar-benar pergi jauh setelah aku enggak berkata-kata lagi. Aku melihat punggungnya yang menjauh. Kepalanya tertunduk lesu. Aku menyayanginya, itu pasti. Aku pun tidak sanggup menjadi orang yang mengalami hal serupa. Jika bisa memilih, aku ingin menjadi orang tanpa masalah. Aku menagis.

          Sudah sangat dekat kali ini dari jam kepergiannya. Aku belum menempahkan segala perasaanku padanya. Aku benar-benar menyesal. Pasti akan terasa indah sekali bila masih sempat memeluknya sebelum ia pergi. Pasti keadaannya akan lain. Tapi aku rasa ini amatlah sangat wajar. Sudah lama, berhari-hari, aku tak tahu sejak kapan aku rajin menangis mengingatnya mengacuhkanku dan lebih-lebih mengetahui kenyataan dia akan pergi.

          Meyakitkan sekali.

          Tak ada kata-kata indah yang menyatakan pamit. Tak ada untaian pesan, tak ada peluk cium sayang demi melekatkannya di benak, di raga, dan di jiwa agar bisa jadi pelepas rindu yang bisa setiap saat menyergap. Tak ada tatapan 'sebenarnya enggan pergi  meninggalkanmu dan cepat-pulang' dan tatapan 'jangan tinggalkan aku. Tak ada genggaman hangat itu yang menyejukkan hati, apalagi air mata pilu karena ditingalkan.

          Simpan semua itu karena melihatnya saja pun aku tak bisa. Buang mimpi itu. Aku tak bisa merengkuhnya. Melihatnya pun tidak untuk yang terakhir kali atas pertemuan kami yang seharusnya bisa menjadi lebih indah. Namun aku masih ingat kala dia menyakitiku dengan amat sangat. Belum ada kata maaf yang indah tapi dia sudah memutuskan untuk pergi.