Aku Tahu Bajak Laut Itu Tertawa

By Astri Soeparyono, Sabtu, 11 Agustus 2012 | 16:00 WIB
Aku Tahu Bajak Laut Itu Tertawa (Astri Soeparyono)

Gadis itu menatap kosong kursi yang juga kosong. Dia dan keluarganya datang setelah aku sudah cukup lama menguasai meja ini. Mataku yang ditutup oleh salah satu eyepatch tak menghalangi penangkapan reka adegan yang ada. Tanpa perangkat elektronik terhidang sebagaimana yang ada di mejaku. Tapi ironisnya, tetap tak ada kata yang muncul dari anggota keluarga itu. 

Detik demi detik bergulir, keadaan menjadi lebih runyam dengan kepergian ayahnya begitu saja. Gadis itu, dengan rambut panjang yang kuyakini dicat cokelat tua dan diikat kuda, hanya berdiam. Terus menyantap buburnya.

"Permisi, Mbak. Bisa pesan satu hakau udang dan satu xiao long bao?"

Seorang pelayan wanita dipanggil oleh ibundanya. Membuat anak gadis itu terpana. Mungkin karena tak biasanya sang ibunda memesan lagi saat makan. 

"Aku pikir kita langsung pulang abis ini, Bun?" gadis itu mulai membuka suara. Matanya masih menatap sendok bubur yang sebenarnya sudah kosong. 

"Pulang dengan siapa? Ayahmu begitu saja ke luar tanpa bilang apa-apa. Kunci mobil di dia. Dan Bunda enggak tahu dia akan balik atau pergi gitu saja. Sudah, nikmati saja makananmu. Habis ini kita cari taksi."

"Tapi Bun...."

"Tapi apa?"

Tepat di saat gadis kecil tersebut hendak merengek untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut, dua piringan bambu datang terhidang. Sekali lagi mengepul-ngepul, menebarkan aroma yang bahkan mampu sampai ke tempatku berdiri. 

"Andara. Sudah, jangan banyak tanya lagi. Kamu masih kecil. Makan saja sekarang, oke?"

***

Kau mungkin beranggapan cerita ini akan berakhir di situ. Di saat Andara-nama dari gadis malang tersebut, dihadapkan oleh kenyataan pahit keluarganya.