Kawashita No Meikaku**

By Astri Soeparyono, Senin, 23 Juli 2012 | 16:00 WIB
Kawashita No Meikaku** (Astri Soeparyono)

            "Berarti Papa pulang naik taksi dong. Aku besok ada praktek di rumah sakit. Tari shooting. Rissa siaran. Kamu juga kuliah. Kasihan Papa," serunya berintonasi dimelas-melaskan. Berharap aku terbujuk? Sori dori mori stroberi ye.

            "Sekali enggak bisa ya tetap enggak bisa. Gue ngantuk. Jadi..." delikku seraya melirik tajam bagai pemangsa yang kelaparan. Mataku seperti bicara, 'Citra aku lapar! Kau akan kumakan! Hahahh.'

            "Oke oke oke oke oke. Aku tahu kok, rayuanku enggak mempan. Oke aku keluar. Daagh adikku sayang." Sebelum ngibrit keluar kamar dia sempat menjahiliku dengan mencium pipiku seperti aku ini anak kecil. Hampir saja bantal di sisiku menghajarnya, sayang pintu menghalangi dengan cepat. Dasar pintu jelek! Mau sok jadi pahlawan ya?

            Besok Papa pulang. Pertanda musibah akan menimpaku. Aku harus siap-siap jadi boneka prajurit lagi. Besok kuliah kelar jam dua, aku ngapain ya sampai malem? Hatiku resah. Pasalnya Papa ikutan TNI, cuma beberapa bulan sekali pulangnya. Kalau pulang kerjaannya mempresentasikan shotgun terbarulah, motor balap tercanggihlah, atau robot gundam terkeren. Sayangnya penyiksaan itu hanya berlaku dan tertuju padaku. Huaaaa.

            'Bintang, ini Papa bawakan robot-robotan gundam terbaru! Kamu pasti suka. Ayo sini lihat sama-sama.'

            'Besok kita nonton film Superman yuk. Kamu pasti mau seperti Superman kan? Terus kita lihat pameran otomotif abis itu. jagoan Papa pasti senang. Mumpung Papa enggak tugas ke luar kota. Bintang besok pasti gembira sekali.'

            'Bintang! Papa enggak suka kamu pakai baju warna itu! Ganti! Kamu pakai warna hitam atau biru donker pasti lebih keren. Cepet sana ganti!'

            'Kamu ini, kerjaannya bercermin terus! Kalau pakai minyak wangi buanyak buanget. Kalau mandi lama. Itu mobil-mobilan yang Papa beli malah dianggurin. Kamu ini sukanya apa sih?'

            Aku tersadar dari lamunanku masa kecilku. Menyebalkan banget punya Papa rese kayak gitu! Apapun yang kusukai selalu ditentang. Huh! Kenapa hanya aku yang dilarang bersolek dan mengenakan gaun-gaun cantik berwarna pastel! Hanya aku! Aku ingin seperti Mbak Tari, Mban Citra, dan Mbak Rissa.

            Malam menghadirkan nuansa kelam yang sama gelapnya. Bintang-bintang berkelip mengejek. Bulan menyembul dari balik awan seperti mengintip. Aku berharap diriku seindah bintang di langit, tapi yang ada hanya pertentangan batin. Berat. Aku harus terus berlakon seperti apa yang papa inginkan.

            "BINTANG!!" Sinar mentari menghujam mataku. Aku terdampar dari tidur nyenyakku. "BANGUN BINTANG! BANGUN!" Oke. Tak hanya matahari yang mengusikku. Juga teriakkan bunda yang bombastis. Sekali saja bunda berniat menaikkan nada suaranya satu oktaf, kurasa seluruh kaca akan pecah. Aku tertegun sejenak, tumben amat bunda ada di kamarku. Entah jin mabok mana yang menggiring bunda ke kamarku pagi-pagi. Oh tidak, sedikit siang. Kutegakan bantal untuk menyanggah punggungku.

            "WHOAAM. Ada apa, Bun? Kok pagi-pagi sudah berkokok?" Mataku masih beradaptasi dengan ganasnya mentari.