P3 = menunggu

By Astri Soeparyono, Senin, 12 September 2011 | 16:00 WIB
P3 = menunggu (Astri Soeparyono)

Terlalu senja untuk cinta

Terlalu pagi untuk mati

 

Bukan itu....

Tapi bukan pula cinta

Hanya sekuntum bunga layu

Tinggal sayu yang pengumpul banyu

 

Terlambat.....

Pria angkat sauh jiwa raga

Pendam sesal Sang Hawa

 

          Hei,aku ingin bertanya...kamu tahu bagaimana resahnya menunggu ?

          Aku rela jika saat tiba di nikmatnya surge, aku aku masih berdiri di gerbang  dan menunggu sebuah  nama dengan huruf awal P yang kutunggu selama ini. Bahkan, jika aku terhembus ke neraka...Aku pastikan sang empunya nama berhuruf awal P ada di sana.

          Menyaksikan bagaimana kami betemu dan kami terpisah. Bertemu lagi dan terpisah lagi. Sampai akhir hayat ,aku pastikan seorang  yang aku cari berada di dekatku.

***

          Dear Patrick....

          Maaf jika aku terlalu menyatakan ini.

Karena kamu harus tau bagaimana  perasaanku saat  pertama kali bertemu dengan kamu...

          Memang aku tidak bisa  merangkai kata-kata seperti layaknya puisi, tapi aku ingin mengatakan padamu. Aku suka kamu....

          Love....

          Inersia.

          Hmmmffff...aku melipat kertas berwarna pink yang berada dalam genggamanaku dan aku masukan ke sebuah amplop berwarna sama. Sudah siang, hampir pukul satu siang yang berarti saatnya aku untuk melangkah  pulang dan harus menyampaikan surat yang sudah lama ingin aku sampaikan pada Patrick, seorang yang sudah lama aku sukai .

          Dulu, aku sempat patah semangat saat mengetahui banyaknya penggemar Patrick di sekolah ini. Tapi, sekarang aku harus percaya diri karena surat ini  hanya sebagi saran untuk menyampaikan perasaanku pada Patrick.

          Jika di terima bersyukur. Jika tidak, sudahlah...

          Aku melangkahkan keluar kelas, dan melihat jam tangan. 'Seharusnya Patrick sudah selesai latihan basket.' Kataku dalam hati.

          Kakiku melangkah pelan menuju lapangan basket, tanganku berkeringat saat melihat Patrick di sudut lapangan bersiap untuk pulang. Patrick sudah mendkati pintu gerbang SMA Prestasi, jantungku seakan mau berhenti karena melebihi batas normal detak jantung manusia. Tapi, aku masih terdiam di luar lapangan.

          Tanganku bertambah dingin, Patrick berada di depanku dengan posisi membelakangi.

          Hmmmmmmmffffff...aku menghela napas panjang lagi. Aku berjalan pelan mendekati Patrick, tanganku hndak menyentuh pundak Patrick sedikit. Sedikit lagi.

          Dan Patrick berjalan menyeberang jalan sebelum aku menyapanya.

          'Ah, terlambat!' Aku menunduk lesu dan tanpa daya berbalik pergi.

          BRUK! Sebuah suara keras terdengar dari belakangku. Dengan perasaan takut aku berbalik.

          Pria muda diseberang jalan sudah trkulai lemah berlumuran darah. Aku jatuh berlutut, surat berwarna pink itu terjatuh dan terbawa angin yang berembus.

          Meninggalkan surat yang tidak akan pernah tersampaikan.

***

          Pada satu pagi, aku terlahir sebagai seorang bayi. Tangisanku menggema saat aku menyadari dinginnya udara disekitarku.

          "Wah, Pierre punya adik!" Suara anak laki-laki itu brteriak gembira menyambutku. " Ma, nama adik Pierre siapa?" Anak laki-laki itu menoleh ke seorang wanita yang duduk disebelahnya.

          "Alice..nama adik Pierre, Alice..."

          Kulihat anak laki-laki itu tersenyum menatapku.

          Mulai hari itu aku dinamakan Alice Anastasia. Nama belakangku adalah nama ibuku, dan aku tidak memakai nama belakang dari Ayah karena aku tidak mempunyai Ayah. Dia sudah meninggalkan Ibu dan Pierre jauh sebelum aku terlahir. Kata ibu, ayah meninggal di sebuah kecelakaan pesawat.

          Setiap hari aku semakin mencintai keluargaku yang baru. Terutama Pierre, kakakku. Dia selalu menemaniku saat pergi sekolah, bermain, belajar, bahkan saat aku sedih atau gembira.

          Tibalah saat aku dan Pierre beranjak dewasa. Dan raut wajahnya yang ceria dan bentuk tubuhnya yang tegap dan tinggi mengingatkanku pada Patrick. Smakin bertambah umur kami, semakin kami jauh. Pierre semakin jarang pulang dan makan di rumah. Seringkali aku menunggunya di runag keluarga sampai tertidur, dia belum pulang sampai pagi menjemput.

          Aku melihat jam dindingku, pukul 12 malam. Pierre belum pulang, padahal hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke - 20. Kuraih ponsel yang tergeletak di atas meja.

          To: Kak Pierre...!

          Kak, kenapa belum pulang? Hari ini ulang tahun kakak, lho!

          Pesan singkat itu terkirim tapi tidak dibalas, entah apa yang sedang dia lakukan saat ini. Aku hanya ingin dia tahu betapa aku sangat menyayanginya.

          Malam itu aku kembali tertidur di ruang keluarga. Dan betapa kagetnya aku saat dia ternyata sudah pulang dan masuk ke kamarnya, aku terburu-buru untuk pergi kuliah sehingga aku tidak menjenguknya dan berbasa-basi.

          Akhirnya, selesai kuliah aku buru-buru menjenguk Pierre sambil membawa jus jeruk dan roti panggang kesukaannya. Aku ketuk pintu kamarnya.

          Tidak ada jawaban.

          "Kak Pierre..." Sekarang aku memanggil namanya. Masih tidak terdengar jawaban.

          Dengan nekat aku memutar kenop pintunya perlahan, "Kak, ini aku bawakan.." kalimatku tertahan di tenggorokan.

          Prang! Gelas yang aku pegang jatuh. Bibirku tak kuasa untuk berteriak.

          Pierre sudah terbujur kaku di atas tempat tidurnya. Mulutnya berbusa, dan matanya kosong. Beberapa pil berwarna putih terlihat berserakan di sekita tubuhnya.

          Dia kmbali meninggalkanku.

          Dan aku kembali mencarinya.

***

          "Patricia Laurensia?" Aku bertanya pada seorang wanita di hadapanku. Wanita itu bertubuh tinggi dan rambut hitam panjangnya tergerai indah.

          Wanita muda di hadapanku hanya mengangguk sopan.

          Belum lima menit wanita muda itu duduk, tapi aku sudah merasakan kalau dia yang aku cari. Sinar matanya penuh percaya diri seperti Patrick, tapi bedanya dia bernama Patricia. Tapi, sudahlah...

          Mulai hari ini dia akan bekerja di perusahaanku sebagai seorang sekretaris.

          Aku tidak yakin dia akan tahan terhadap sikap keras dan perfeksionis yang aku punya, karena dari kecil aku memang dididik untuk keras dan tidak mudah menyerah. Mungkin karena pengaruh didikan itu aku menjadi sedikit kaku dan tidak tahu bagaimana caranya bersenang-senang di usiaku yang akan menginjak 30 tahun.

          Sudah satu tahun Patricia bekerja sebagai sekretaris yang bersedia membantuku, dan malam ini aku diajak untuk menghadiri sebuah pesta pernikahan salah satu karyawanku. Untunglah para bawahanku masih menganggapku manusia normal bukan seorang pemimpin yang lebih memilih terkurung di ruangan kerja daripada bersosialisasi.

          Ternyata Patricia juga menghadiri pesta pernikahan ini. Dia datang bersama seorang pria. Dia menghampiriku.

          "Selamat malam, Pak Dyas... kenalkan ini suami saya..."Patricia tersenyum manis.

          Seharusnya kamu tahun rasanya tertarik pada seorang wanita yang ternyata sudah mempunyai suami. Dan malam itu aku terus bermimpi kapan aku yang berada di sana dan menyanding seorang cowok dengan nama yang berhuruf awal P.

***

          Kali ini aku masih menunggu di gerbang surga untuk mencari sebuah nama dengan huruf awal P.

          Dan aku terlahir entah untuk keberapa kalinya dan menemukan nama dengan huruf awal P untuk ke sekian kali. Akhirnya, mereka sang empunya nama P meninggalkanku untuk kesekian kali pula.

          Aku menemukan jiwa bukan raga seorang yang bernama Patrick.

          Berkenankah para malaikat yang menunggu menyampaikan surat yang tidak pernah tersampaikan untuk P?

          Dear Patrick...

          Jika akhirnya kita bisa bertemu di kehidupan lain, di surga, ataupun di neraka. Aku hanya ingin kamu tahu...aku akan selalu mencari dan menunggumu. Karena aku saying kamu, Patrick.

          Love...

          Inersia, Alice, Dyas...

 

Oleh: Deani Sekar