Dike

By Astri Soeparyono, Minggu, 7 Agustus 2011 | 16:00 WIB
Dike (Astri Soeparyono)

Untuk mereka yang tidak percaya kalau kita juga bisa saling mencinta.

New York, 20 November 1999

          Dear Allea,

          Hari ini hari pertama musim dingin. Hari ini juga hari pertama turun salju di sini. Hari ini juga hari pertama aku melihat dan mengumpal salju menjadi dua bongkah bulatan besar yang ditumpuk dan kemudian disebut sebagai boneka salju. Ternyata salju itu lembut, putih bersih seperti wajahmu yang terakhir aku lihat. Wajahmu yang basah karna air mata yang tak kunjung berenti mengalir melepas kepergianku yang mendadak ke sini. Aku mengusapnya berulang kali waktu itu juga sambil menahan tangis. Tapi aku lebih tegar dari kamu. Dan aku juga akan membasahi kertas ini bila aku terus mngingat momen terakhir kita itu.

          Hari ini juga hari pertamaku tanpa kamu, Allea. Aku tak tahu apakah hari ini dapat aku lalui semudah biasanya atau tidak. Bila kamu melihat aku sekarang, mungkin aku akan tampak seperti koruptor yang divonis kurungan penjara seumur hidup. Lemas lunglai seketika saat palu dihantamkan ke meja berlapis kain hijau. Meninggalkan sofa empuk serupa singgasana yang diganti dengan tikar. Sup hangat yang diganti dengan sup dingin setengah basi. Mana bisa aku tertawa lagi? Allea, kamu singgasanaku, tempat aku bersandar karena lelah, meletakkan segala keluh dan kesah yang kadang mengada-ngada, hanya untuk meminta perhatian lebih. Saat tawa seketika menjadi air mata dan cinta yang divonis terkurung sumur hidup, terus berontak ingin keluar menerobos segala dinding-dinding tuntutan yang begitu rumit.

          Aku benci di sini, Allea. Setiap tiga bulan sekali musim berganti. Nanti panas, nanti dingin, nanti sejuk. Aku rasa tubuhku tidak cukup sehat untuk beradaptasi dengan itu semua. Sekarang masih pagi. Matahari sudah menyembul keluar, tetapi tetap saja temperaturnya di bawah nol derajat celcius. Dan kurang lebih enam bulan lagi, daerah ini akan panas dengan begitu hebatnya. Aku harap perasaanmu tidak berubah-ubah seperti cuaca di sini. Aku ingin kau tetap simpan aku seorang di hatimu. Mungkin aku terlalu egois. Tapi harapanku hanya ingin ada di hatimu, Allea. Supaya hatimu bebas memilih orang yang kamu ingin. Aku ingin orang itu aku... aku iri. Hatiku tervonis bersalah karena mencintaimu. Kata mereka itu pelanggaran. Andai aku bisa mengubahnya.

***

          "Kamu jangan ninggalain aku ya. Kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku senang. Please, kamu jangan pergi jauh ya. Kalau kamu sampai ninggalin aku, akau bunuh diri lho! Ha ha ha ..." Kelakar kamu malam itu terngiang lagi di telingaku. Sekarang aku benar-benar pergi jauh. Meninggalkan kamu sendirian di sana. Tawamu waktu itu menjadi tidak lucu lagi sekarang. Malah membuatku bergidik.

          Allea, maafkan aku karena meninggalkanmu di sana. Tapi ini tidak lebih sebagai bentuk pengabdian anak pada ibunya. Lagipula di sini aku melanjutkan kuliahku. Menuntut pengalaman hidup yang lebih. Bila kelak aku kembali ke sana, aku tak sabar untuk membagi semua itu padamu. Meskipun aku tak bisa melihatmu dari sini dan itu memang tidak mungkin, aku tetap merasa kalau kamu ada di sini, Allea. Di hatiku. Mungkin kau sudah tau, aku dilarang untuk mengajakmu kemari bersamaku, karena Ibu tidak percaya kita hanyalah sekedar teman biasa. Dan aku rasa itu benar adanya.

          Akankah kamu masih percaya aku? Allea, sebelum aku mengiyakan Ibu untuk pergi ke New York, otak dan batinku sudah beribu kali membahas hal yang sama. Tapi apakah hasilnya? Nihil, Allea. Nihil. Bahwa aku tak mampu dan tak mau membuang begitu saja kenangan kita. Meski aku dipaksakan begitu. Selama ini aku membiarkan diriku terus tenggelam dalam kekalutan yang tak berujung. Aku menyelam bersamamu. Ya, aku menyelam bersamamu. Aku yang mengajakmu menyelam ke dalam lautan yang sesungguhnya hina. Menyelam untuk tak kembali lagi ke daratan yang egois, yang tak mau mengakui kalau ada sesuatu yang sangat indah antara kita.

          Allea, maafkan aku telah mengajakmu menyelam bersamaku. Sudah terlalu lama kita mengarungi lautan itu bersama. Hingga kau lupa ada matahari di atas lautan itu. Hingga kau lupa kenyataan kalau kita memang tidak pantas untuk bersama. Dan kenyataan itu datang saat ini.

          Allea, mengapa kau mau datang kepadaku? Padahal kau tahu, itu tak sepantasnya, bukan? Apakah aku Allea? Aku yang membuatmu menjadi serigala keji yang merobek-robk batin orang tuamu. Menjadi serpihan yang hilang hingga mustahil untuk disatukan lagi. Tapi matamu tak lantas terbuka bahwa aku jahat. Apakah aku Allea? Aku membuatmu menjadi cemoohan, menjadi orang yang pantas ditertawakan, dipandang sinis, dan diludahi. Karena mereka tak percaya kalau kita hanyalah sekedar teman biasa. Dan itu benar adanya. Tapi matamu tak kunjung terbuka juga kalau aku satu-satunya sebab yang membuat hidupmu hampir hancur. Apa karena malam itu? Malam ketika kita pura-pura tak menyadari kalau kita... Sebenarnya aku tak butuh fakta itu. Aku pernah mencaci Tuhan karena aku terlahir begitu. Hidupmu hampir hancur, bukan sudah hancur. Masih ada setitik di mana terdapat kesempatan untuk mengubahnya. Kamu harus menemukannya dan mengambil kesempatan itu! Aku hanya ingin mmbuka matamu bahwa matahari ternyata masih terbit di atas lautan hina yang kita salami berdua.