Dike

By Astri Soeparyono, Minggu, 7 Agustus 2011 | 16:00 WIB
Dike (Astri Soeparyono)

          Allea, aku ingin memberitahumu sesuatu. Minggu depan aku akan bertunangan. Dengan orang Amerika tentunya. Sungguh, hatiku brontak untuk itu. Aku benci perjodohan. Kau masih ingat bukan betapa kerasnya  perjuanganku menyelamatkan Dini dari perjodohan yang dirancang orangtuanya? Aku  berhasil kala itu. Bila Dini melihat saat ini, mungkin ia akan menertawakan aku. Adakah yang memperjuangkan  hak asasi hati ini? Mungkin hanya kamu. Kamu pun tak mungkin mampu. Kamu tak lebih  dari perempuan yang memiliki  kelainan di mata Ibu. Aku  benar-benar tak kuasa untuk mengatakan tidak. Hatiku tak cukup berdaya untuk melawan semua itu. Untuk melawan Ibu. Aku rasa sudah berkali-kali aku menancapkan pisau di hati mungkin ini saatnya untuk aku segala pisau itu dan menyembuhkan  dari semua perih. Tapi saat aku kedalam diriku, diriku yang sangat mampu untuk itu. Aku tak ingin gagal menjadi Ibu untukku. Kalau bisa memilih, mungkin ia akan untuk tidak memiliki batin sehingga perlu hampir gila keetika tahu kita memiliki cinta satu sama lain.

          Pernahkan kau bercermin tanpa helai benang pun ditubuhmu? Apa kau tidak menyadari sesuatu? Apakah kau bertanya tanpa ada satupun yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa kita memiliki satu sama lain?

          Aku masih ingat ketika aku menangis seorang diri di klas. Kamu bilang, kamu dikhianati oleh Dewo waktu itu. Tahukan Allea, saat itu dadaku berdebar. Debar yang aneh. Karena 'aku' keluar dari inti tubuhku dan seakan memberi dorongan untuk melindungimu. Untuk tidak membuatmu menangis seperti kala itu. Awalnya aku berhasil. Kita memiliki hari yang indah bukan? Meskipun diselingi kata-kata sampah dari mereka yang sesungguhnya tidak mengerti rasa yang ada di antara kita.

          Allea, bisakah kita lupakan semua itu tanpa harus melupakan rasa yang sudah kita ciptakan selama ini? Mungkin sulit dan rumit. Seperti seorang ibu yang dipaksa mencekik mati anaknya tetapi dilihat dan dikenang. Tapi berbau karena busuk. Akankah kita juga seperti itu? Hingga hati kita tak sanggup lagi mencium baunya dan memuntahkan cinta kita yang busuk itu. Akhirnya lenyap. Diam-diam aku mengharapkan itu, Allea.

          Tak ingatkah, kamu hidup normal seprti gadis lainnya? Tanpa cacian, hinaan, mata-mata yang memandang jijik, mata-mata yang memandang heran, mata-mata yang mmandang kita seolah-olah kita adalah orang gila yang lepas dari rumah tahanan. Masih adakah sela kecil di hatimu untuk orang lain? Orang lain yang akan membuatmu terlihat lebih normal. Bukan aku. Aku malah membuatmu terlihat memiliki kelainan di mata mereka. Bila masih ada, jaga sela kecil itu, Allea. Untuk orang lain yang kelak akan menata ulang hidupmu.

          Lelaki Amerika itu menjanjikan kehidupan yang tertata sebagaimana mestinya dan itu menungguku minggu depan. Jasad dan badanku tidak siap untuk itu. Allea, mulai saat ini dan selamanya hanya kamu yang bisa menyimpan segala sesuatu antara kita. Hatiku sudah tak bisa lagi. Sudah tak bebas lagi karena ada jeeruji besi yang memenjarakan hatiku, dan kamu tidak boleh ada di dalam sana. Hanya orang Jerman itu yang boleh ada. Karena kamu akan membuat hukumanku menjadi bertambah berat. Tapi masih ada serpihan-serpihan kecil yang aku sembuyikan dan hatiku membawanya masuk ke balik jeruji bsi itu. Jadi simpanlah seutuhnya. Jangan hanya serpihan-serpihan.

          Namun bila ternyata menyimpannya malah membuatmu jadi sakit, cekik mati saja cinta itu! Aku akan bantu. Tapi tetap saja simpan jasadnya. Bila kita sudah tak tahan dengan baunya, kita muntahkan saja. Dan cinta yang busuk itu akan lenyap juga.

          Aku memang jahat. Aku mengingkari janji kalau kita akan terus bersama. Tapi sungguh, hanya jasadku yang mengingkari itu semua. Hatiku tidak.

          Semoga kehidupan yang tertata dengan indah juga akan datang padamu.

          Dari aku yang mencaci Tuhan karena diberi tubuh yang sama denganmu.

New York, hari pertama musim dingin.

***