Di salah satu episode Descendants of The Sun, diceritakan kalau Kang Mo Yeon ditugaskan ke daerah terpencil yang membutuhkan bantuan dokter. Daerah fiktif itu bernama Uruk.
Dalam kehidupan nyata, memang ada dokter yang sengaja bertugas di daerah konflik. Mereka dinamakan Doctor Without Borders.
Doctor Without Borders ini merupakan organisasi nonprofit internasional di bidang medis yang mendukung akses kesehatan di daerah konflik.
Daerah konflik enggak semata daerah perang aja, tapi juga daerah yang terkena bencana alam, daerah dengan banyak anak-anak mengalami malnutrisi atau di tempat penampungan untuk korban kekerasan seksual. Salah satu organisasi yang menangani hal ini adalah MSF (Medicine Sans Frontières ).
Cewekbanget,id beruntung banget nih bisa ngobrol langsung dengan Rangi Wirantika, salah satu dokter yang tergabung dengan MSF dan sudah pernah ditempatkan di Pakistan dan Yaman. Yuk baca cerita dari Dokter Rangi soal profesinya ini. Inspiratif banget, girls.
“Perang Kosovo, itu yang bikin aku pertama kali pengin bekerja di bidang kemanusiaan. Waktu itu aku menonton Dunia Dalam Berita, dan di sana aku melihat para pengungsi Perang Kosovo sedang berjalan menuju Eropa di tengah musim dingin, ada ibu-ibu dan anak-anak.
Itu seperti Aha-Moment buatku, karena aku tahu akan jadi apa. Yaitu kerja di bidang kemanusiaan yang bisa membantu para pengungsi ini.
Ketika SMA, temanku bilang kalau aku bisa bergabung dengan Doctor Without Borders. Karena itulah, aku masuk kuliah kedokteran karena tujuanku adalah bergabung dengan Doctor Without Borders.
Banyak pertanyaan datang padaku, kenapa, sih, aku mau kerja kayak gini? Tapi pertanyaannya, kenapa enggak? Di sana enggak ada siapa-siapa, dan mereka butuh bantuan. Pelayanan kesehatan di daerah konflik itu sering tutup. Jadi, kalau bukan kita, siapa lagi yang menolong mereka?
Aku pertama kali ditempatkan di kota Chaman, Pakistan, selama sepuluh bulan. Setelah itu, aku bertugas di Taiz, Yaman, selama lima bulan. Di sana, yang dibutuhkan bukan cuma dokter, tapi juga perawat, bidan, bagian logistik, banyak lagi.
Untuk bisa kerja di sana, minimal harus punya pengalaman selama dua tahun. Namun, yang penting itu harus bisa team work karena kita harus bisa masuk ke negara yang berbeda dengan tempat tinggal kita, harus bisa memahami budaya negara lain.
MSF merupakan organisasi internasional dan ada perwakilan di setiap regional. Kalau Asia ada di Hong Kong. Perwakilan MSF di sana mendapat daftar dokter seperti apa yang dibutuhkan, lalu mereka merekomendasikan kita.
Setiap misi, biasanya memakan waktu enam bulan sampai satu tahun. Untuk di Yaman ini, aku sudah tiga kali menolak karena perangnya masih aktif dan aku takut enggak sanggup.
Begitu ditawari, kita bisa diskusi, dan kalaupun menolak, mereka akan menghargai itu. Ketika itu, aku mikir mereka pasti butuh banget, makanya sampai tiga kali menawariku. Akhirnya aku pun setuju.”
Meski Berat Tetap Bertahan
“Yang paling berat aku rasakan itu waktu di Yaman. Kalau di Pakistan, kan, itu dalam keadaan perang sudah selesai, jadi keadaan agak stabil. Kalau di Yaman itu perang masih aktif.
Aku cukup khawatir ketika datang ke sana. Dari ibukota Yaman ke Taiz, itu memakan waktu delapan jam dan ada banyak check point dan kami harus berhenti di setiap check point itu untuk pemeriksaan.
Selama tinggal di rumah sakit di Taiz, setiap malam aku selalu mendengar bunyi tembakan. Ranjau, bom, meriam, tembakan, itu sering banget kita dengar, sampai-sampai enggak bisa tidur.
Awal-awalnya aku enggak kuat, pengin pulang. Akhirnya aku ngomong sama bos MSF di sana kalau aku takut enggak sanggup. Sama beliau, aku diminta melihat pasien. Akhirnya aku keliling rumah sakit, terutama bagian anak-anak karena aku ditempatkan di sana.
Saat itulah aku sadar kalau mereka butuh banget dokter. Apalagi bangsal anak-anak ini masih baru, masih banyak yang harus diperbaiki. Itulah yang akhirnya membuatku bertahan.
Lama-lama, aku jadi menikmatinya, bahkan memperpanjang kontrak selama satu bulan. Di sana aku banyak bertemu dokter lain, terutama dokter Yaman yang pintar dan keren banget.
Ada satu pasien yang aku enggak bisa lupa. Namanya Malak, anak cewek usia sekitar tiga tahun. Dia mengalami malnutrisi parah sampai harus dirawat di rumah sakit sampai sebulan.
Ibunya suportif dia tinggal di rumah sakit, tapi namanya anak kecil, dia mungkin bosan, ya, jadi pengin pulang. Akhirnya aku janji bakalan nemuin dia tiap hari.
Suatu hari, aku kecapekan sampai ketiduran. Ternyata banyak yang nelepon aku, tapi enggak aku angkat. Pas udah bangun, aku diminta ke bangsal anak karena katanya Malak ngamuk, enggak mau makan. Rupanya dia begitu karena aku enggak datang.
Dia menderita glaukoma sehingga penglihatannya enggak jelas, tapi dia bisa mengenaliku lewat suara. Karena dia, aku jadi belajar buat menghargai janji.
Setiap hari, aku harus berusaha mengambil keputusan terkait dengan pasienku. Kesehatan pasien itu penting, tapi keselamatan stafku juga harus dilindungi. Misalnya saat merujuk pasien ke rumah sakit lain, itu banyak yang harus dipikirin.
Bagaimana perjalanan ke rumah sakit itu, apakah dia bisa sampai dengan selamat, apakah stafku yang mengantar bisa pulang dengan selamat, bagaimana dengan keluarganya, hal-hal itulah yang harus dipertimbangkan setiap hari selama berada di sini.
Apa yang aku bayangkan selama ini dengan apa yang aku jalani langsung itu ternyata berbeda. Kenyataannya jauh lebih berat, pola kerjanya sangat berat, tapi bukan berarti enggak bisa.
Memang banyak yang harus dikorbankan, seperti tinggal sendiri di tempat bahaya, jauh dari keluarga, tapi apa yang aku dapatkan itu terasa sesuai.
Ketemu pasien membuatku bahagia. Pasien sembuh bikin aku bahagia. Orangtua anak-anak itu sering bawain makanan. Bahkan, sebelum pulang teman-teman di sana membuat acara kecil-kecilan. Itu pengalaman berharga yang aku dapatkan di sana.”
Rasa Damai Itu Penting dan Harus Dijaga
“Berada di daerah perang membuatku jadi menghargai pentingnya perdamaian. Ketika akhirnya pulang ke Indonesia, aku jadi mensyukuri banget apa yang kita miliki di sini.
Bayangkan kita ada di sana, bangun di pagi hari dan menyadari negara kita sudah hancur. Keluar dari rumah sakit, enggak tahu apakah kita bisa sampai di rumah dengan selamat.
Misalnya Taiz, daerah ini enggak ikut berperang tapi ikut kena imbasnya. Enggak ada air, listrik, makanan, sehingga banyak anak-anak yang mengalami malnutrisi.
Intinya, perang itu enggak ada baik-baiknya. Setiap anak itu hanya ingin tumbuh dengan tenang, pergi ke sekolah, berkumpul bersama keluarga, tapi itu semua direnggut oleh perang.
Ketika aku merasa susah, aku teringat kalau ada banyak orang lain yang lebih susah, jadi itu membuatku enggak manja. Mereka di sana tidur aja belum tentu bisa. Karena itu, aku jadi mensyukuri hal-hal sederhana yang bisa aku alami.
Aku melihat hal ini sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dengan ilmu dan pengalaman. Banyak yang underestimate aku atau enggak paham dengan tujuan hidupku. Namun, bukankah semua orang punya passion?
Kita bisa melakukan banyak hal, dan kita bebas memilih passion. Ada yang ingin menikah setelah bekerja, silakan. Ada yang ingin jadi dokter di daerah pedalaman Indonesia, silakan. Setiap orang punya passion dan punya hak untuk mewujudkannya.
Untuk bisa mencapainya memang enggak gampang, tapi kalau kita bisa berhasil melewatinya, hasilnya akan memuaskan.”
Nama lengkap: Rangi Wirantika Sudrajat
Lahir: 1 November 1988
Pendidikan: FK Trisakti Jakarta (2005-2011)
Instagram: Arangiwirantika
Pengin jadi seperti dokter Rangi, girls? Kita bisa kok mengikuti jejak dokter Rangi. Buat yang penasaran dengan cara kerja MSF, bisa ikut game Game ini akan membuat kita paham lebih paham soal MSF. Lewat game ini, kita bisa menguji kemampuan saat harus mengambil keputusan dengan tepat, terlebih di tengah situasi krisis, seperti yang selalu dihadapi oleh field workers MSF yang bertugas di daerah konflik. Buka link ini kalau pengin mencoba game ini.