Ini 3 Pelajaran Soal Persamaan Gender yang Bisa Kita Ambil Dalam Talkshow #PerempuanBaru

By Ifnur Hikmah, Selasa, 23 Mei 2017 | 08:40 WIB
Para narasumber di Talkshow #PerempuanBaru (Ifnur Hikmah)

Pada Sabtu 20 Mei 2017 yang lalu, Lam Horas Production, Jakarta Feminist Discussion Group dan Hollaback! Jakarta mengadakan movie screening dan talkshow bertajuk #PerempuanBaru.

Talkshow ini menjadi lanjutan acara Women’s March Jakarta yang sudah diselenggarakan pada bulan Maret 2017.

Acara ini terwujud sebagai bentuk dari keprihatinan sekaligus untuk terus memberdayakan perempuan yang masih dianggap sebagai kelas kedua, minoritas dan dipandang sebelah mata.

Berikut ini ada 3 pelajaran yang bisa kita ambil dalam talkshow #PerempuanBaru.

(Baca di sini, menyuarakan aspirasi cewek melalui talkshow #PerempuanBaru)

Di talkshow ini ada 5 perempuan yang menjadi narasumber dan membagikan pengalaman mereka tentang isu-isu gender.

Para narasumber ini memiliki latar belakang yang berbeda, namun dengan visi dan misi yang sama buat menegakkan kesetaraan gender.

Di antaranya ada Karlina Supelli, astronom perempuan pertama di Indonesia yang terjun di dunia STEM. Howi Amalia, seorang coder, juga mencoba memutuskan stereotipe kalau dunia teknologi hanya bisa dijalankan oleh laki-laki.

Lalu ada Muniroh Suradi, mantan seorang diplomat yang berjuang hingga keluar negeri untuk membiayai keluarganya.

Kemudian Musriyah, menjadi ketua Sekolah Perempuan Ciliwung yang berusaha membantu perempuan lain yang sudah berkeluarga di bantaran kali Ciliwung, untuk mendapat pendidikan pentingnya hukum bagi suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Terakhir ada seorang aktris, Hannah Al Rashid yang bercerita mengenai pengalamannya saat pergi ke suatu tempat di Aceh. Di mana perempuan jadi ketua adat dan berhasil menyelesaikan konflik adat dengan cara damai. Hebat!

Masih kuatnya budaya dan kepercayaan tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan yang berbeda juga masih jadi polemik, lho.

Apalagi kita sebagai perempuan identik harus di rumah, enggak boleh punya kegiatan yang lebih dari laki-laki.

Jadi kalau perempuan itu enggak boleh kerja, atau punya pendidikan yang lebih tinggi dari laki-laki itulah cara pandang salah yang perlu diluruskan.

Karena stereorip seperti itu justru merugikan perempuan yang ruang geraknya jadi terbatas, hampir di setiap aspek kehidupan.

Akibat dari stereotip yang tidak memperbolehkan perempuan punya pendidikan yang tinggi dan bekerja justru bikin perempuan semakin tertinggal.

Ada banyak kasus di mana perempuan justru pada akhirnya menikah di usia yang masih dini dan tidak memiliki ilmu maupun gizi yang dapat dikatakan mapan.

Enggak heran juga, biasanya pernikahan di usia dini membuat perempuan jadi korban kekerasan baik secara fisik, seksual dan batin.

Karena rata-rata usia pasangannya juga sama-sama masih dini, segala hal diselesaikan masih dengan emosi yang belum stabil, cenderung mudah melakukan kekerasan.

(Ini 6 hal yang perlu kita tahu soal Women's March di Amerika Serikat)

Foto:  @womensmarchjkt

(Sara)