Dari laporan The Middle East Media Research Institute (MEMRI), Telegram jadi favorit para teroris setelah platform ini membuka fitur “Channel” pada 2015 lalu.
Fitur ini mirip dengan Broadcast Message milik BBM. Melalui fitur ini, para teroris menyebarkan ajaran seputar jihad, cara membuat senjata, bahkan perintah membunuh yang disebar kepada followers kanal tersebut.
Bahrun Naim, pimpinan Jaringan Ansharut Daulah Khilafah Nusantara (JADKN), juga sempat menggunakan aplikasi Telegram untuk menuntun pengikutnya dalam melaksanan aksi teror bom di Jakarta tahun 2016 lalu.
Dilansir dari Tempo.co, Menteri Kominfo Rudiantara mempertimbangkan untuk menutup juga Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube jika masih beredar akun-akun yang menyebarkan konten radikalisme.
“Permintaan kami pada platform untuk menutup akun-akun yang memiliki muatan radikalisme, sepanjang 2016 hingga 2017 baru 50 persen dipenuhi. Ini sangat mengecewakan,” terangnya.
Melalui Twitter, seorang netizen asal Indonesia menanyakan kabar tentang pemblokiran Telegram ini pada CEO Telegram, Pavel Durov.
Pavel pun menjawab bahwa pihak Telegram belum pernah menerima permintaan atau keluhan dari pemerintah Indonesia.