Representasi media soal tubuh ideal cewek menjadikan banyak orang mengidam-idamkan bentuk tubuh yang kurus dan langsing.
Mulai dari diet, olahraga, hingga konsultasi langsung dengan dokter, semua dilakukan demi memenuhi standar ideal yang ditetapkan oleh masyarakat.
Makanya seringkali ketika melihat cewek dengan badan mungil, kecil, dan kurus sejak lahir, kita mengira bahwa hidupnya pasti menyenangkan.
Anggapan seperti, “Enak ya pasti enggak ada yang mencemooh” atau “Badannya ideal gitu semua pasti suka”, sering ditujukan pada cewek yang bertubuh kurus.
Padahal ternyata, cewek kurus juga bisa mengalami body shaming, lho!
Seperti yang dirasakan oleh dua cewek ini, Shindi (24) dan Shelena (24)
Badan Shindi mulai kurus sejak dirinya masuk dunia perkuliahan. Ketika SMP-SMA, berat badannya mencapai 48-50 kg. Tapi, kemudian turun hingga 37 kg.
“Dulu waktu SMA itu aku aktif kegiatan paskibra. Jadi, emang rutin juga olahraga. Nah, ketika masuk kuliah, kerjaannnya cuma ngampus aja.
Aku sendiri sebenernya juga enggak paham kenapa bisa sampai drastis gini turunnya. Padahal semenjak kuliah justru nafsu makanku bertambah.
Makanya sering banget dibilang cacingan, terus sempet juga ada yang becanda ‘ruqyah gih kemasukan jin kali’. Pernah juga teman-teman cowok bilang kalau dada dan pantatku tuh rata.
Beruntungnya aku termasuk orang yang enggak peka. Mungkin kalau orang lain bakal sakit hati banget dengernya.”
Akhirnya Shindi pun memutuskan untuk memeriksakan kondisi tubuhnya ke dokter. Berbagai tahap pemerikasaan pun dia jalani. Mulai dari rontgen, USG, hingga tes jantung.
“Hasilnya ternyata baik-baik aja. Enggak ada yang salah,” tutup Shindi.
Berbeda dengan Shindi, Shelena pernah sangat membenci bentuk tubuhnya semasa SMP dan SMA. Pasalnya gara-gara tubuhnya yang mungil, dia gagal menggapai mimpinya untuk menjadi Wara (Wanita Angkatan Udara).
Padahal sejak SMA, Shelen yang dulu seorang atlet lari ini, mengaku berusaha mati-matian untuk meninggikan dan menaikan berat badannya.
“Rajin minum susu, vitamin, dan sebagainya deh. Terus papaku juga menekankan untuk rutin olahraga.
Tapi ternyata tinggi dan berat badanku enggak nambah juga. Makanya sempat marah juga ke papa dengan bilang, ‘Ngapain aku disuruh olahraga, temenku yang enggak bisa olahraga aja tinggi’. Itu masa-masa egois aku.”
Puncak kebencian Shelena pada tubuhnya adalah ketika mendekati kelulusan SMA. Saat itu dirinya belum tahu harus meneruskan pendidikannya ke mana.
“Waktu konsultasi dengan wali kelas dan ditanya pengin melakukan apa setelah lulus, aku nangis karena yang terpikir saat itu cuma jadi Wara.
Tapi, akhirnya setelah ngobrol, beliau menyarankan untuk menjadi dosen atau guru. Karena kebetulan aku juga tertarik, akhirnya aku memutuskan untuk ambil Pendidikan Biologi.”
Sama seperti Shindi, Shelena juga mengaku sering mendapat cemoohan atau ledekan mengenai bentuk tubuhnya dari orang-orang sekitar.
“Tapi, aku selalu berusaha untuk enggak mengindahkan omongan mereka. Aku berusaha untuk menganggap itu angin lalu.
Nyatanya dengan tubuhku yang mungil ini sekarang aku bisa dapat pekerjaan yang baik dan tumbuh jadi sosok yang bikin diri sendiri bangga.
Murid-muridku di sekolah juga menghargai aku. Jadi, buatku kehormatan seseorang enggak dilihat dari postur tubuh, tapi ilmu,” akhirnya.
Jika dilihat dari respon Shindi dan Shelena terhadap body shaming yang mereka alami, keduanya termasuk orang yang enggak terlalu memusingkan hal itu.
Tapi, hal ini enggak bisa kita jadikan patokan bahwa body shaming bisa dilakukan.
Apapaun respon yang diterima, marah, diam, atau enggak peduli, segala bentuk body shaming tetaplah salah ya, girls.