40% Kasus Kekerasan Seksual Dibungkam dan Terhenti di Tengah Jalan. Salah Siapa?

By Debora Gracia, Selasa, 9 Januari 2018 | 13:20 WIB
Kenapa korban harus dibungkam? (Debora Gracia)

Mei lalu, seorang anak berusia 4,5 tahun diduga menjadi korban pelecehan seksual di sekolahnya sendiri, TK Mexindo, Bogor. Tuduhan atas kasus ini ditujukan kepada penjaga sekolahnya yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Bukan tanpa bukti, melainkan ibu dari korban sudah melakukan pemeriksaan terkait bercak darah yang ada di celana dalam anaknya. Hasil dari dokter membuktikan kalau ada benda yang dipaksa tapi susah sehingga jadi digesek-gesek sampai menimbulkan lecet di sekitar mulut vagina. Korban pun sudah bisa menjelaskan secara langsung tentang perlakuan enggak terpuji yang ia terima dari penjaga sekolahnya.

Ibu dari korban juga berusaha melaporkan kejadian ini ke polisi hingga Lembaga Perlindungan Anak (LPA). Tapi nyatanya sampai sekarang, kasus ini belum menemukan titik terang. Terlebih lagi, justru dari pihak LPA, meminta sang ibu untuk bungkam dan enggak memviralkan kejadian ini, dilansir dari akun Instagram @thenewbikingregetan.

Kasus kekerasan dan pelecehan seksual adalah masalah serius yang bisa menimpa siapa saja, dari kalangan mana saja, mulai dari usia berapa saja. Keadilan dan hak untuk merasakan keamanan, itu lah yang dibutuhkan bagi korban.

Juga dilansir dari Komnas Perempuan, selama tahun ada kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani, di mana ini meliputi dari beberapa ranah, yaitu ranah personal, komunitas, dan negara.

Kekerasan ini bisa mencakup kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi. Dalam lingkup personal, kekerasan yang paling sering terjadi adalah kekerasa terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama kasus (56%), disusul kekerasan dalam pacaran kasus (21%), kekerasan terhadap anak perempuan kasus (17%). Untuk ranah sosial, kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (kasus) dan pencabulan (kasus).

Banyak kasusnya kekerasan seksual seharusnya bikin kita semakin peka untuk melihat serta memahami bentuk-bentuk apa saja dimaksud sebagai kekerasan seksual, lengkapnya bisa baca di sini.

(Baca juga: Kita Harus Tahu, 5 Tips Mencegah Pelecehan Seksual di Angkutan Umum Online Menurut Hannah Al Rashid)

Muncul pertanyaan, kenapa kasus kekerasan seksual sering dibungkam dan enggak jarang ‘memaksa’ korban untuk diam serta enggak meminta keadilan. Enggak sedikit pula yang menyalahkan korban atas kasus yang terjadi.

Contohnya, sewaktu Fauzi Bowo, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta membuat larangan untuk cewek memakai rok saat berada di angkutan umum, pasca terjadi pemerkosaan kepada seorang karyawati di angkot, 2011 lalu. Tentunya ini mendapat reaksi dari banyak pihak dan dianggap semakin menyudutkan cewek dan membuat korban menjadi korban untuk kedua kalinya. Akhirnya Fauzi Bowo pun meminta maaf.

Dilansir dari bbc.com, banyaknya kasus kekerasan seksual yang enggak ditangani dan dibungkam hingga enggak bisa diproses secara hukum karena kurangnya bukti dan saksi mata. Selama ini kebanyakan kekerasan seksual ditangani dengan menggunakan KUHP, yang masih berperspektif pada pelaku. Sebenarnya ada beragam langkah untuk melindungi korban kekerasan seksual, mulai dari penanganan hingga pemulihan, yang semestinya diatur dalam sebuah undang-undang.

Kasus seperti ini enggak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di luar negeri. Seperti kasus pelecehan seksual yang dialami Taylor Swift dan dilakukan oleh seorang DJ bernama David Mueller pada 2013 lalu, baru mendapatkan keputusan akhir pada tahun ini, setelah kasus 4 tahun terjadi.