10 Pelajaran Psikologi yang Kita Temui di Film Harry Potter

By Indra Pramesti, Jumat, 16 Maret 2018 | 14:50 WIB
Kamu pernah mengalami salah satunya? (Indra Pramesti)

Tapi kenyataannya, Malfoy malah tumbuh menjadi sosok yang dewasa. Bahkan di akhir cerita, Malfoy membantu Harry dengan melempar tongkat sihir ke arahnya.

Cognitive dissonance adalah keadaan di mana dua hal menunjukkan kejanggalan atau ketidacocokan. Cognitive dissonance bisa membahayakan banyak orang. Cornelius Fudge meunjukkan perilaku tersebut ketika dia membantah kalau Voldemort telah bangkit kembali.

Sebagai Menteri Dunia Sihir, Cornelius Fudge telah berusaha untuk mempertahankan keamanan dunia sihir. Namun dengan kebangkitan Voldemort, Cornelius Fudge menjadi terdesak mengeluarkan pernyataan yang bertolakbelakang. Sebagai akibatnya, dunia sihir jadi kehilangan waktu berharga yang sesungguhnya bisa digunakan untuk bersiap-siap melawan kedatangan Voldemort.

Guru mata pelajaran Ramalan, Sybill Trelawney menunjukkan ciri-ciri anxiety disorder dalam berbagai hal, seperti selalu merasa gugup,  kerap membayangkan kejadian buruk yang mungkin terjadi di masa depan, hingga takut di-judge oleh orang lain.

Parasocial interaction adalah perilaku satu arah dari karakter fiksi yang mampu membantu proses healing pada orang yang membaca atau menontonnya. Dalam cerita Harry Potter, kita kerap ditunjukkan kejadian yang berkaitan dengan kematian dan rasa berbelasungkawa.

Ternyata hal ini bisa membantu orang-orang untuk menghadapi kejadian traumatis yang mereka alami. Menurut mereka, cerita Harry Potter sangat relatable, menguatkan, dan menenangkan pikiran mereka. Terlebih dengan adanya quotes inspiratif dari berbagai karakternya.

Kalau kamu sendiri, pernah mengalami salah satunya enggak, girls?

(Baca juga: 5 Perbedaan Psikopat dan Sosiopat. Jangan Sampai Gebetan Kita Termasuk di Dalamnya!)